Kamis, 28 Mei 2020

Our QIF Journal : Kiat Sukses SFH & WFH

Sebagai seorang ibu yang juga bekerja di luar rumah, yang di masa pandemik covid 19 ini di"wajibkan" untuk bekerja dari rumah a.k.a work from home (WFH), di awal masa rasanya bagaikan menerima kiriman hampers Iebaran disaat di rumah tak ada makanan :), happy banget. Maklum, selama menjalani masa kerja hampir dua puluh satu tahun, saat-saat tinggal di rumah hanya terbatas sejumlah cuti tahunan yang dijatah dari kantor, yang jumlahnya tak lebih dari dua belas hari saja. Jadi, ketika keluar pengumuman terkait PSBB di DKI Jakarta dan Jawa Barat, yang sama-sama menerapkan kebijakan PSBB untuk jangka waktu satu bulan (dan akan dievaluasi bertahap dan akan diperpanjang sesuai kebutuhan), saya langsung membayangkan indahnya tinggal di rumah selama itu.

Seminggu pertama layaknya bulan madu, tinggal di rumah saja, berkumpul dengan suami dan anak-anak 24/7 rasanya sungguh menyenangkan. Di minggu-minggu awal, baik kantor maupun sekolah anak-anak juga baru masuk tahapan adaptasi, kantor saya dan suami baru menyusun mekanisme dan jadwal kerja pegawai selama WFH, termasuk jadwal piket terbatas bagi sebagian pegawai, demikian juga sekolah anak-anak yang baru uji coba metode pembelajaran baru via media daring. Bisa dibilang, aktivitas saya dan anak-anak belum stabil menunggu kebijakan bertahap dari kantor dan sekolah, alhasil pekan pertama rasanya bak liburan keluarga, stay cation idaman, yang rutinitasnya banyak diisi dengan hal-hal menyenangkan, selain tentu saja, rutinitas bebersih seantero rumah pagi dan sore. saya misalnya jadi kembali punya waktu menulis atau mencoba resep masakan favorit bersama, sementara itu pak suami jadi rajin belajar menyeduh kopi ala barista,   si sulung jadi makin punya kesempatan membuat sketsa, adiknya yang hobi menggambar komik digital juga demikian atau si bungsu yang suka menyusun lego teknik, ikut-ikutan mengeluarkan koleksi mainan bongkar pasangnya itu.

Memasuki pekan kedua, suasana di rumah mulai berubah. Anak-anak mulai menghadapi serbuan tugas sekolah dari para guru. Target penyelesaian harian pun ditetapkan dan para guru yang tampaknya terkena sindrom "kejar setoran target penyelesaian bahan ajar", jadi lebih peduli pada target setoran tugas dari siswa-siwanya. Alhasil, sedikit banyak anak-anak yang di awal masa pandemik sudah merasakan perbedaann suasana, bertambah tekanannya dengan banjir tugas dari sekolah. Fenomena school from home (SFH) ini tidak hanya berdampak pada anak-anak dan para guru, melainkan juga pada para orang tua, terutama para Ibu yang harus putar otak, atur waktu antara pendampingan belajar anak-anak, pekerjaan kantor plus pekerjaan rumah.

Manajemen Waktu, Kunci Sukses WFH dan SFH
Di rumah, saya masih bisa bersyukur, karena anak yang harus saya dampingi proses belajarnya hanya si bungsu karena kedua kakaknya sudah biasa belajar mandiri. Terbayang jika ketiga anak saya masih perlu pendampingan. Aktivitas pendampingan belajar anak ini serta merta merubah jadwal harian saya. Mau tidak mau saya harus menyusun ulang urutan pekerjaan harian. Bangun pagi di pkl. 3.30, langsung menyambi urusan dapur dan bebersih rumah, setelah menjalani ibadah sholat shubuh segera menyiapkan makanan untuk sarapan sekeluarga, syukur-syukur jika menunya juga fit untuk makan siang, lumayan mengirit waktu masak siang hari. Masak murah meriah dengan resep - resep sederhana dan mudah tentunya  :). Pukul 7.30 bersiap absen pagi di kantor via aplikasi daring plus mulai menyiapkan bahan belajar si bungsu yang dipatok menyetor hasil belajar harian ke wali kelasnya setiap pukul 10 pagi. 

WFH saya dimulai pukul 8 pagi, jadi ada waktu kurang lebih setengah jam untuk membaca bersama, untungnya dia masih kelas 2 SD, jadi proses transfer konsep-konsep dasar logika dan bahasa lebih mudah dan materinya saat ini terkait tema-tema harian (tematik) sehingga tidak perlu waktu panjang untuk memahaminya. Usai mereviu singkat materi belajar anak, saya bersiap menuntaskan tugas harian dari kantor. Sebisa mungkin pengaturan waktu kerja selama WFH saya atur layaknya saat bekerja di kantor. Mulai jam 8 pagi, break istirahat, sholat dan makan siang pukul 12.00 s.d. 12.45 dan lanjut bekerja hingga pukul 16.00. Waktu istirahat siang hari bisa dimanfaatkan untuk menyiapkan makan siang bersama keluarga. Selama waktu kerja, saya bisa menyambi menjalankan tugas sebagai guru private anak-anak. Biasanya di kantor terkadang saya bisa membahas satu dua hal dengan teman-teman seruangan, nah saat kerja di rumah, diskusi sejenis bisa diaktifkan pada sebagian waktu, namun partner diskusi saya adalah anak-anak. Sesekali mengecek tulisan tangan si bungsu, sesekali bertukar soal quiz dengan si anak tengah atau sesekali menengok proyek harian si sulung di kamarnya. Usai waktu WFH, saya biasa memanfaatkannya untuk menjalankan tugas rumah seperti merapikan dan membersihkan rumah dengan dibantu anak-anak serta menyiapkan makan malam. Malam seusai ibadah Isya, saya dan keluarga biasa makan malam bersama diselingi dengan obrolan tentang apa yang telah dilakukan masing-masing dari kami di hari itu.

Dengan pola ini kami bertahan beraktifitas di rumah saja 24 jam setiap pekan. Mulai matahari terbit hingga menjelang malam latihan komunikasi efektif antar anggota keluarga terus berlangsung. Hasilnya? dua pekan sejak dimulainya masa WFH dan SFH, saya dan keluarga telah terbiasa menjalani jadwal aktifitas harian dengan pola seperti ini. Anak-anak tak lagi terbatasi proses belajarnya karena bisa tetap merasakan dinamika belajar yang menyenangkan ditambah interaksi natural antar anggota keluarga. Bonding antar kami jauh lebih kuat terasa. Serius, waktu sepekan bakal berlalu tanpa terasa :).

Manfaatkan Gawai Secara Positif
Saya sesekali juga mendiskusikan masalah efektivitas belajar dirumah secara daring dengan anak-anak. Sejauh ini tidak ada keberatan dari mereka dan justru mereka merasakan waktu belajar menjadi lebih padat manfaat. Si sulung yang menduduki kelas XII telah selesai semua proses Ujian Sekolah tepat sebelum masa di rumah saja di mulai. Selama masa di rumah, ia berkesempatan berlatih soal-soal perispan menghadapi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang menjadi syarat masuk ke universitas. Si anak tengah belajar secara daring dengan memanfaatkan aplikasi google room, sementara dari sekolah si bungsu, penyampaian materi belajar dilakukan para guru via whassapp goup orang tua siswa,, sementara . Mau pelaksanaan quiz atau ulangan harian menggunakan applikasi kazoot. Untuk menunjang cara-cara  belajar baru ini,  interaksi antara manusia selaku pengguna dan perangkat teknologi sebagai sarana belajar menjadi keniscayaan.

pemanfaatan gawai secara bijak bisa menjadi penentu suksesnya SFH dan WFH
credit photo : private collection
Bersyukurlah apabila di rumah telah tersedia perangkat gawai dengan jumlah yang cukup serta sambungan internet yang memadai untuk menunjang program WFH dan SFH. Bagaimana jika tidak tersedia hal-hal tersebut secara memada untuk dimanfaatkan oleh masing-masing anggota keluarga? Tentu saja masalah ini harus dicarikan solusinya. Salah satu solusi yang paling masuk akal adalah lagi-lagi dengan mengatur waktu pemakaian gawai dan menyiasati konsumsi sambungan internet yang dimanfaatkan secara bersama. Pengaturan waktu bisa diurutkan berdasarkan prioritas pemakainya. Misalnya, bila hanya ada 1 PC atau laptop di rumah, sementara anggota keluarga yang hendak memanfaatkannya ada 5 orang, maka dalam satu hari masing-masing anggota keluarga terlebih dahulu harus menyepakati kepentingan siapa yang dinilai paling urgent dan kapan ia dapat menggunakan gawai yang tersedia. Contohnya, ayah harus rapat daring pada pukul 8-10 pagi, adik harus laporan secara lisan pada guru  mata pelajaran tertentu, yang apabila waktunya tidak diatur ketat, maka memungkinkan adik menggunakan gawai yang sama di luar waktu rapat ayah, dan seterusnya.

Selanjutnya, selain gawai menjadi barang yang penting dalam proses belajar dan bekerja di rumah, perlu juga dipahami bersama, bahwa interaksi yang intens dengan gawai mempunyai efek samping yang tidak selalu baik.Anak-anak mungkin akan pelan-pelan timbul rasa ketergantungannya pada gawai, sehingga bisa jadi dimasa bebas pandemi pun akan sulit bagi orang tua untuk memisahkan mereka dari gawai nya. Oleh karena itu perlu kesadaran orang tua untuk memantau penggunaan gawai oleh anak-anak ini. Selain pengaturan waktu pemakaian gawai, kreatifitas orang tua menciptakan aktifitas lain yang tidak melibatkan gawai menjadi salah satu penentu yang dapat mengurangi efek negatif pemakaian gawai oleh anak-anak. Tak lupa, orang tua juga tetap wajib memberi contoh perilaku pemanfaatan gawai secara terkendali dan bertanggung jawab. Bukankah tak ada cara berbagi secara efektif dengan anak-anak selain memberinya contoh positif?



2 komentar:

  1. Setuju sekali, tapi kalo anak SMA sedikit sulit untuk membatasinya
    Bilangnya tugas belum selesai dikerjakan, padahal asik chattingan

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya memang benar, tricky ya mbak Ami :), perilaku remaja memang harus dipicu kesadaran diri sendiri, menumbuhkan kesadaran mereka ini tantangan kita ya..^^

      Hapus