Kamis, 07 Mei 2020

Our QIF Journal : Big BANG - Ada Apa Dengan Di Rumah Saja?


Photo by CDC on Unsplash


Tak berbeda dengan banyak negara lain di dunia, Indonesia juga tak luput dari hantu Covid-19. Meski terkesan terlambat mengantisipasi gelombang serangan virus yang tak kasat mata ini, akhirnya Indonesia menyadari gerakan #dirumah saja jadi salah satu cara menghambat laju penularan sang virus. Jadilah semenjak awal Maret tepatnya di 16 Maret 2020, kami resmi "dirumahkan". 

Ayah, Bunda mulai berkantor di rumah sejak minggu ketiga Maret, sementara anak-anak sudah lebih dulu belajar di rumah seminggu sebelumnya. Rumah kecil kami mendadak hangat dan meriah. Adek membuka spot belajar di sudut kanan  ruang tamu, bersama bunda di sudut kirinya. Dua kakak lebih nyaman bersarang masing-masing di kamar tidur, sementara ayah membuka ruang konferensi di ruang tengah yang menyatu dengan pojok kopi dan dapur. 

Aktivitas sehari-hari di dalam rumah membuat keramaian tersendiri yang tak biasa dan tak pernah terjadi sebelumnya. Suara adek yang menyimak materi belajar via TVRI berpadu dengan suara ayah yang bertelekonferensi dengan sejawatnya, ditingkahi suara musik dari kamar kakak yang tetiba seringkali menyentuh pianonya kembali sejak momen belajar di rumah saja. Kakak kedua dan bunda yang lebih sering bekerja dengan laptop menyerap semua riuh rendah suara dari dalam ruang-ruang di rumah kami, sungguh keramaian yang tak biasa dan reaksi kami di awal mula dimulainya kebiasaan baru ini berbeda-beda.

Dua kakak senang luar biasa ketika kebijakan  belajar di rumah saja dimulai. Bagi dua anak introvert itu, kesempatan belajar dalam "sarang" nya yang nyaman di rumah sepanjang hari  adalah hal yang sellau dirindukan. Beda dengan kakak, adek yang extrovert sedikit nelangsa karena tiba-tiba tak bisa bersosialisasi seperti biasa, kangen ibu bapak guru dan kangen bermain bersama teman-teman jadi salah satu alasan pertamanya merasa tak betah di rumah. 

Bagaimana dengan  ayah dan bunda? Ayah yang biasa gesit dan padat dengan agenda kerjanya sedikit kerepotan karena semenjak berkantor di rumah, efektivitas pelaksanana tugas sangat tergantung pada kelancaran jaringan telekomunikasi. Banyak rapat yang terkendala jaringan yang hilang timbul di hari-hari awal kebijakan di rumah saja, yang akibatnya  untu menyiasati kondisi tersebut terpaksa beberapa agenda dilaksanakan di luar jam kerja normal. Alhasil, momen bekerja di rumah saja berjalan ibarat tak kenal waktu. Ada rapat-rapat yang berjalan bahkan hingga dini hari. Tak beda dengan ayah, bunda pun demikian, meski tidak terlalu terpaku pada aktivitas komunikasi, bunda lebih terkendala masalah pengaturan fokus diri, membagi konsentrasi antara pekerjaan dan kewajiban mendampingi anak-anak di masa belajar di rumah. Malum sepanjang masa belajar di rumah, anak-anak tetap dilimpahi beragam tugas sekolah dengan tenggat waktu yang sama ketatnya layaknya mereka yang dipatok target pekerjaan.

Stres?
Ow, terus terang, pekan pertama adalah puncaknya. Setiap orang berusaha dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan mendadak ini. Belum lagi setiap hari masih harus membaca atau mendengar berita seputar Covid-19 yang baru mulai merebak dan mau tak mau menyita perhatian. Lazimnya berita buruk, ketakutan, kekhawatiran dan ketidakpastian menghantui masing-masing dari kami. Masih beruntung kami bisa bersama-sama di masa sulit ini. Rasa syukur inilah yang menguatkan kami. Di luar sana banyak keluarga tak seberuntung kami. Sebagian terpisah jauh, jarak dan waktu. Sebagian amat terbatas ruang geraknya karena keterbatasan fasilitas dan banyak lagi hal yang tak kami alami.

Tekad di akhir pekan pertama kami adalah bersyukur dan mulai belajar lagi. Banyak hal yang masih harus kami pelajari, belajar berempati, belajar menyesuaikan diri, belajar mengembangkan diri ditengah keterbatasan, belajar mengelola keterbatasan itu sendiri dan banyak hal lainnya. Bismillah, kami optimis bisa belajar bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar