Jumat, 11 Juli 2014

Ada Apa Dengan Kurikulum 2013? (Pendahuluan)

Masa liburan sekolah hampir berakhir. Anak-anak di rumah saya sudah tak sabar ingin segera kembali ke sekolah, salah satu tempat mereka belajar sehari-hari. Melihat antusiasme anak-anak kembali ke sekolah membuat saya turut bersemangat. Maklumlah, selama ini, sesuai dengan misi pendidikan dalam keluarga kami, sekolah menjadi salah satu lingkungan yang kami pilih sebagai  tempat anak-anak beraktivitas. 

Sejauh ini, aktivitas belajar mereka makin berwarna dan saling melengkapi antara pola belajar yang kami kembangkan di tengah keluarga dengan apa yang dilakukan oleh guru-guru mereka di sekolah. Singkatnya, kami sebagai orang tua bisa menjalin hubungan kerja sama yang solid dan saling mendukung sehingga terjadi keselarasan antara pola pengajaran orang tua di rumah dengan pola pengajaran guru sebagai partner kami di sekolah, Alhamdulillah.

Pada akhir tahun ajaran yang lalu, kami berkesempatan berdiskusi dengan pihak sekolah mengenai kurikulum baru yang hendak diterapkan serentak secara nasional mulai tahun ajaran 2013/2014. Kurikulum tersebut disosialisasikan dengan nama "Kurikulum 2013". Dimulai dengan penerapan secara selektif pada sekolah-sekolah tertentu, sebagai ajang uji coba pada tahun ajaran 2013/2014, maka di tahun ajaran 2014/2015 semua sekolah harus suah menerapkan kurikulum baru tersebut yang disebut-sebut merupakan salah satu terobosan dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Mendengar kata "terobosan" menimbulkan rasa keingintahuan saya mengenai bentuk dan aplikasi dari kurikulum baru ini. Dari sekilas diskusi dengan sekolah, saya mendengar bahwa yang menjadi inti dari kurikulum baru tersebut adalah mengintegrasikan setiap mata pelajaran yang menjadi standar kompetensi minimum siswa pada level tertentu dengan benang merah suatu tema dengan mengaplikasikan beragam metode pengajaran secara komprehensif. Pihak perancang kurikulum menyebutnya "pola pengajaran tematik" atau sederhananya bisa kita sebut, pola pengajaran berdasarkan tema tertentu. Tema yang diusung diambil dari kehidupan sehari-hari siswa, dan tiap mata pelajaran yang diajarkan pada tiap kali pertemuan dengan siswa mengusung satu tema yang telah ditetapkan sesuai silabus tertentu. Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus Kurikulum 2013 dapat dilihat dan diunduh disini.

Misalkan saja, untuk pertemuan pertama dengan siswa, setiap mata pelajaran mengusung tema tentang "Pengalaman Yang Mengesankan", maka materi dari masing-masing mata pelajaran akan didasarkan pada tema tersebut. Untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, Siswa diajak untuk menceritakan kembali pengalaman yang mengesankan secara lisan dalam bentuk aktivitas bercerita. 

Pada prinsipnya, beragam metode bisa diaplikasikan dalam mengeksplorasi tema ini. Guru dapat merancang aktivitas semacam "show and tell" atau presentasi tunggal dari masing-masing siswa dalam rangka menceritakan pengalamannya, atau mungkin juga aktivitas bermain peran secara berkelompok yang dilakukan siswa yang ceritanya diangkat dari pengalaman mengesankan mereka secara bersama-sama. Diantaranya disisipkan pengajaran mengenai konsep-konsep dasar tertentu yang menjadi standar kompetensi yang ingin dicapai dalam suatu mata pelajaran. Misalnya, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah mengembangkan rasa ingin tahu dan mencari sumber-sumber informasi yang menunjang proses belajarnya. Maka, dalam hal ini, Guru bisa saja mengembangkan metode diskusi interaktif dengan siswa di kelas untuk mencari tahu serta mendorong siswa berperan aktif mengungkapkan pengetahuannya seputar pencarian sumber-sumber informasi tadi. Setelah itu, Guru juga dapat melengkapi apa yang sudah disampaikan siswa dengan menambah pengetahuan baru seputar materi yang dibahas.

Penggunaan beragam metode pengajaran secara aplikatif menuntut kreatifitas guru. Semakin kreatif guru dalam memadu madankan metode-metode pengajaran tersebut secara integratif, seharusnya akan semakin aktif dan dinamis aktivitas belajar para siswa. 

Tidak ada salahnya, sebagai orang tua kita mulai mencermati dan turut mempelajari perbedaan visi dan misi serta aplikasi yang diusung oleh kurikulum baru ini. Bagaimanapun, tanggung jawab pendidikan anak-anak berada ditangan orang tuanya, sehingga bagi kita yang memilih jalur sekolah sebagai pendukung pola pengajaran di rumah, sudah sewajarnya memahami rancangan kurikulum yang diterapkan oleh Pemerintah. Jika terdapat kekurangan atau ketidakselarasan dengan visi dan misi pendidikan keluarga secara internal, kita sebagai orang tua dapat merancang cara lain untuk menyesuaikannya, sebaliknya tentu saja, sebagaimana semua bentuk ciptaan manusia di dunia, mungkin kita juga memperoleh nilai tambah yang lebih baik dari kurikulum ini untuk mendukung pola pengajaran yang selama ini kita terapkan di rumah-rumah kita.


Senin, 14 April 2014

Sex Education For Young Children : How to start?

Sama seperti kebanyakan orang tua lain, saya termasuk yang perlu berpikir keras menemukan cara mengangkat tema pendidikan sex bagi anak-anak. Termasuk didalamnya, memilih-milih waktu yang tepat untuk mulai membiacarakannya.

Dari berbagai literatur yang saya baca dan pembicaraan dengan sesama ibu, saya memilih satu cara memulai dan masih terus saya gunakan sampai sekarang. Cara yang bagaimanakah itu? Hmm, saya menyebutnya cara yang "natural".

Setiap hari sebenarnya selalu ada saja momen yang bisa kita pakai untuk mulai membicarakan masalah sex dan sexualitas pada anak-anak. Ambillah contoh, saat ayah dan bunda dan anak-anak berada di satu ruang keluarga, di hari keluarga. Kesempatan ini jadi saat yang paling sempurna untuk membuka pembicaraan tentang pendidikan sex bagi anak-anak usia dini.

Momen lainnya misalnya saat kita mengajak anak-anak mengunjungi tante yang sedang mengandung, atau baru saja melahirkan bayi. Kita menjadikan momen itu untuk memulai pembicaraan tentang sex dengan si usia dini. Intinya adalah, sediakan waktu berbicara, siapkan suasana yang santai dan ambillah "inisiatif " untuk memulai diskusi tentang sex dengan anak-anak. Buka pikiran dan yakinkan diri terlebih dahulu, bahwa sebaik-baiknya pendidikan adalah yang diberikan dan dimulai dari orang tua, bukan dari yang lain, termasuk didalamnya pendidikan tentang sex. Bukankah kita yang lebih memahami anak-anak kita sendiri? Maka selayaknya kita yang memulainya.

Kamis, 03 April 2014

Main-Main Matematika : Mengenal Statistika Sederhana

Seusai acara iseng kami memanggang cup cake pisang di sore hari, kami masih menyisakan beberapa lembar wadah cup cake dari kertas yang berwarna-warni, ada ungu, biru, kuning dan merah. Dan..jadilah acara main-main matematika di dapur saya berakhir pada pengenalan teori statistika sederhana, begini ceritanya.. :)

Saya ajak putri saya yang kedua (7 th) untuk menyortir dan mengelompokkan wadah cup cake tersebut berdasar warnanya. Selain itu, ia harus memberi nomor pada setiap alas wadah cup cake, berurutan, hingga setelah usai, ia mengetahui berapa jumlah wadah cup cake pada masing-masing kelompok warna. Kemudian, ia saya minta untuk menempelkan wadah-wadah cup cake kertas itu di atas sehelai kertas folio, tentu saja sesuai dengan kelompok warnanya. Hasilnya terlihat seperti ini :

Berdasarkan susunan wadah cup cake seperti pada gambar di atas, saya ajak putri saya untuk mengobservasi  bersama serta memintanya menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti:
  1. berapa jumlah total semua wadah cup cake kertas yang ada?
  2.  kelompok warna apa yang memiliki jumlah paling sedikit?
  3. kelompok warna apa yang memiliki jumlah paling banyak?
  4. dst.
Dengan hanya memperhatikan sekilas hasil prakaryanya, putri saya dengan mudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya pun kemudian melanjutkan dengan mengenalkannya pada bentuk diagram batang (histogram) yang bentuknya mirip dengan prakarya dari wadah cup cake kertas ini. 

gambar diunduh dari : http://cdn.ttgtmedia.com/

Dengan cara sederhana ini saya sudah berhasil mengenalkan konsep  populasi (total semua wadah cup cake kertas), konsep pengelompokkan data (penyortiran per kelompok warna), dan salah satu bentuk penyajian hasil pengelompokkan data yang dikenal dalam ilmu statistika dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang disukai anak-anak.

Jadi, siapa bilang, belajar matematika itu "wajib" serius dan menegangkan?..:p..dari dapur pun kita bisa melakukannya.


Selasa, 01 April 2014

Bagaimana Membangun Kedekatan Emosional Dengan Si Batita?

Sekali waktu saya pernah membaca di salah satu site tentang perkembangan anak (http://www.scholastic.com), "Babies who are securely attached to you emotionally will be able to invest more life energy in the pleasures of exploration, learning, and discovery

Kurang lebih, bila diterjemahkan secara bebas, kalimat tersebut dapat berbunyi, " Bayi yang merasa aman terikat dengan orang tuanya secara emosional akan menginvestasikan lebih banyak energinya pada kesenangannya bereksplorasi, belajar dan menemukan (hal-hal baru).  

 menggambar bersama si kecil? beri mereka contoh dan rasakan serunya saat melihat dia berusaha meniru gambar kita , meski sebatas corat coret saja..:)
Kalimat ini sangat menginspirasi saya, yang meskipun telah tiga kali mengasuh anak usia bayi-batita, namun masih tetap merasa ada yang kurang, manakala ketika anak-anak beranjak besar, saya menemukan terkadang mereka merasa kurang antusias dalam menjalani proses belajar dan bereksplorasi. Saya sering merasa, jangan-jangan kondisi tersebut merupakan buah pengasuhan saya yang kurang maksimal. Untuk itu, hingga sekarang saya masih berusaha mempelajari cara terbaik membangun kedekatan emosional dengan anak-anak (terutama si bungsu yang saat ini masih berusia dibawah tiga tahun).
Berikut beberapa contoh cara yang dapat kita coba terapkan dalam keseharian sebagai seorang ibu dalam menjalin hubungan dengan anak-anak:

Mengusahakan percakapan yang bermakna
Pada setiap kesempatan  bersama anak-anak, upayakan suatu percakapan yang bermakna. Bisa dikemas dengan ringan dan santai, namun isi percakapan harus benar-benar hal yang difokuskan dibicarakan dengan mereka. Jangan sekedar menyapa sambil lalu tanpa menaruh perhatian penuh pada anak-anak, karena mereka akan merasakan bahwa orang tuanya sedang tidak memberikan perhatiannya pada mereka namun pada hal lain. Mengobrol sambil tetap "bermain gadget" misalnya, akan membuat anak menarik kesimpulan bahwa kita tak serius ingin bercakap-cakap dengan mereka.

Jangan abaikan keluhan anak
Respon dari orang tua disaat yang tepat adalah yang diharapkan anak-anak, manakala mereka menghadapi ketidaknyamanan. Jangan lupa untuk selalu fokus pada penyelesaian masalahnya, dan yang terpenting lagi adalah menjaga kesabaran saat menghadapi anak-anak yang sedang menghadapi kesulitan.

Menyediakan waktu bermain bersama
Momen bermain bersama merupakan hal yang menyenangkan dan melegakan bukan saja bagi anak-anak namun juga bagi orang tua. Lepaskan segala hal diluar kegiatan bermain, maka kita akan bisa turut merasakan kegembiraan tulus yang dirasakan oleh anak-anak saat bermain. Tempatkan diri sebagaimana kita semasa anak-anak dulu, maka jalinan emosi antara kita dan anak-anak akan terbentuk layaknya "teman bermain" :).

Jangan pelit  memberi belaian sayang atau pelukan hangat
Salah satu bentuk komunikasi non verbal yang mudah dilakukan adalah memberi belaian atau pelukan hangat pada anak-anak. Tak harus menunggu momen tertentu untuk melakukannya. Anak-anak menyukai spontanitas. Lakukan saja sesuai kata hati kita, niscaya mereka akan suka dan merasakan kehangatan kasih sayang orang tuanya, dan bukan mustahil akan tertular melakukan kebiasaan yang sama hingga mereka dewasa pada orang-orang yang mereka sayangi.

Bernyanyi bersama
Tak harus jago menyanyi, kita bisa menyanyikan lagu-lagu kesukaan anak-anak bersama mereka. Diwaktu senggang, misalnya di akhir pekan, saya terbiasa mengajak anak-anak bermain musik bersama. kami emmilih daftar lagu bersama, dan terkadang membahas isi liriknya. Meski dengan alat musik seadanya, tapi momen spesial kami ini terbukti mendekatkan hubungan Ibu-Anak.

Memasak bersama atau menyediakan menu spesial
Kesempatan mencoba-coba resep makanan atau minuman baru akan jadi saat yang menyenangkan bila dijalani bersama anak-anak. Anak-anak akan merasa istimewa saat kita berusaha memenuhi apa yang mereka sukai.

Yang terpenting dari semua hal yang kita lakukan bersama anak-anak adalah untuk selalu menunjukkan kebahagian dan perhatian pada mereka. Biarkan bahasa tubuh kita, pancaran mata kita, respon kita terhadap ucapan dan keluhannya, senyuman dan tindakan kita sehari-hari sungguh-sungguh mencerminkan cinta tak bersyarat kita pada anak-anak. Jadi, tetaplah terus berusaha  menjalin hubungan spesial dengan anak-anak, berapapun usia mereka :)

*diintisarikan dari berbagai sumber

Kamis, 20 Februari 2014

Bagaimana Cara Membantu Anak-Anak Beradaptasi Dengan Perubahan?

Tak bisa dihindari lagi, kehidupan kita akan selalu dipenuhi dengan perubahan-perubahan, baik yang sifatnya sepele sampai perubahan besar yang memaksa kita melakukan perombakan besar terhadap kebiasaan-kebiasaan yang selama ini kita lakukan.
kartu dari sahabat di tempat tinggal yang lama yang ditinggalkan, menjadi pengingat saat rindu pada mereka

Demikian pula dengan anak-anak. Sepanjang hidup mereka kelak akan selalu berhadapan dengan kemungkinan terjadinya perubahan. Sejak sekarangpun sudah banyak perubahan yang mereka hadapi dari hari kehari, misalnya saat ia harus bertemu dengan rekan baru, ditinggalkan sahabat di sekolah yang pindah mengikuti orang tuanya, mendapat pengasuh baru, kehilangan mainan kesayangan, bertemu dengan orang-orang baru di lingkungan baru saat mengikuti kepindahan orang tua ke tempat tugas baru atau kehilangan kesempatan bertemu dengan salah satu anggota keluarga inti semisal ayah atau bunda karena salah satu dari mereka terpaksa berada jauh dari rumah untuk kepentingan tugas atau pendidikan.

Sama seperti orang dewasa, anak-anak memerlukan adaptasi saat berhadapan dengan beragam perubahan di hidup mereka. Beberapa hal yang dapat terjadi pada diri anak-anak manakala mengalami perubahan antara lain adalah adanya tanda-tanda semacam ini:
  • Murung
  • Sedih
  • Menarik diri dari pergaulan
  • Mudah marah
  • Selalu terlihat gelisah
  • Ketakutan
  • Sensitif dan moody
Bagi sebagian anak selain tanda-tanda di atas, terdapat perubahan perilaku yang sebenarnya sudah ia tinggalkan atau biasanya bukan menjadi bagian dari keseharian mereka. Misalnya saja, pada anak-anak usia sekolah tiba-tiba mereka jadi kembali suka mengompol, padahal kebiasaan mengompol sudah mereka tinggalkan sejak sebelum memasuki usia sekolah. Keadaan seperti ini lambat laun mungkin dapat dihindari atau kembali normal, namun memang memerlukan waktu yang berbeda-beda tiap anak untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang ada setelah terjadinya perubahan dalam kehidupan mereka. Manakala anak-anak tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan cepat, maka keadaan ini dapat membuat mereka menghadapi stress dan akan mempengaruhi caranya menghadapi perubahan lainnya dikemudian hari.

Lalu, bagaimana cara kita sebagai orang tua dalam mengurangi dampak negatif yang timbul pada anak saat terjadi perubahan? Berikut adalah beberapa langkah yang dapat kita tempuh, yang saya intisarikan dari berbagai sumber :

Lakukan berbagai cara agar orang tua dapat mendampingi anak dimasa-masa sulit mereka. Jika kita termasuk orang tua yang "sibuk", segera sederhanakan jadual sementara untuk menyediakan waktu pendampingan bagi anak-anak. Misalnya ambillah cuti khusus untuk menemani anak-anak melewati masa sulit mereka saat beradaptasi dengan perubahan.

Bicarakan secara terbuka apa yang akan terjadi akibat perubahan yang terjadi dalam hidup mereka. Misalnya saat anak terpaksa berpindah sekolah, kita bisa berbincang dengannya tentang bagaimana kesulitan menghadapi kawan-kawan dan guru-guru yang baru, namun juga tetap ada hal-hal yang menyenangkan di tempat baru nanti, termasuk diantaranya bagaimana ia bisa menambah jumlah teman baru, bertemu program sekolah baru yang menarik dan lain sebagainya. Intinya adalah tidak mengabaikan berbagai kemungkinan yang akan dihadapi anak, justru dengan kita memberinya pengetahuan awal mengenai dampak perubahan yang dihadapinya, anak akan lebih memahami bahwa perubahan itu merupakan sesuatu yang wajar dan masalah yang dihadapi akan bisa  diatasi. 

Kenali ketakutan dan kecemasan pada anak. Saat anak menghadapi perubahan, sebagaimana diuraikan di atas, ia mungkin akan menunjukkan perubahan perilaku. Biarkan anak mengeluarkan ekspresi ketidaknyamanannya terhadap perubahan semisal menangis, bersedih ataupun marah. Kita juga dapat mendukung mereka secara positif dengan membesarkan hatinya, misalnya saat ia ditinggal ayahnya bertugas di luar kota untuk periode yang lama, kita bisa mengatakan, "Ayah tidak selamanya akan tinggal jauh dari rumah, ia akan sering-sering pulang bila waktunya memungkinkan, dan kita juga bisa mengunjunginya sesekali untuk berlibur, semuanya akan baik-baik saja jika kita menghadapinya dengan tenang,"
"Kau boleh bersedih sekarang, tapi jangan lama-lama ya, Bunda juga dulu sedih kalau ditinggal kakekmu bertugas di luar kota, tapi kemudian ternyata semuanya baik-baik saja kok, kita sedang berlatih untuk menjadi lebih kuat, kau mau jadi anak yang kuat kan?," dan sebagainya.

 Bantu anak menyiapkan dirinya menghadapi perubahan. Misalnya saat anak-anak harus memasuki sekolah baru, ajak ia mengunjungi sekolah barunya sebelum hari pertama sekolah dimulai. Bantu ia berkenalan dengan guru-guru dan staf sekolah, ajak dia mengenali jalan-jalan yang bisa dilewati saat berangkat dan pulang sekolah dan sebagainya.

Ajak anak dalam membuat keputusan saat menghadapi perubahan. Saat anak terpaksa pindah ke rumah baru jauh di luar kota, biarkan ia yang menentukan warna dinding dan dekorasi kamar tidur barunya. Anak-anak juga dapat kita minta memutuskan apa yang mereka kenakan di hari pertama sekolah mereka.

Biarkan anak-anak memiliki setiap jejak dari perubahan yang dihadapinya. Saat anak pindah ke rumah baru, biarkan ia membawa serta barang favoritnya dari rumah yang lama, misalnya tanaman hias atau jejak lainnya. Saat ia kehilangan sahabatnya, sarankan padanya untuk menyimpan benda kenangan yang identik dengan sahabatnya itu. Saat ia terpaksa berjauhan dengan ayah atau bundanya, biarkan ia menyimpan tanda tertentu yang dapat mengobati kangennya saat berjauhan dengan orang yang disayanginya itu.

Jagalah rutinitas keluarga. Manakala anak terpaksa berjauhan dengan ayahnya karena bertugas di tempat yang jauh dari rumah, misalnya maka siapkan waktu khusus untuk tetap menjalin hubungan akrab antar anggota keluarga seperti saat semua anggota keluarga berkumpul dengan utuh. Misalnya, setelah makan malam bisa diisi dengan waktu video call, atau bertelepon. Saat ayah pulang kerumah, kebiasaan-kebiasaan yang lazim dilakukan bersamanya tetap dijalankan, misalnya makan di restoran favorit, berenang atau menonton film bersama dan sebagainya. 

Minimalkan adanya perubahan lain, sebelum anak berhasil beradaptasi dengan satu perubahan. Saat anak belum terbiasa dengan sekolah barunya, misalnya,  jangan menambahnya dengan mengubah-ubah rute perjalanan ke sekolahnya setiap waktu atau memaksanya mengubah waktu bermainnya dan lain sebagainya.

Ajak orang-orang terdekat anak untuk mendukungnya beradaptasi. Ceritakan pada guru-gurunya disekolah mengenai perubahan yang sedang terjadi dalam keluarga kita, agar guru-guru juga dapat memahami mengenai kemungkinan perubahan perilaku anak kita dan ajak mereka juga untuk memberi semangat agar mereka cepat merasa nyaman kembali.

Pastikan anak-anak terjaga kesehatannya dengan membuat mereka cukup makan dan istirahat.

Beri anak alternatif  mengekspresikan perasaan mereka menghadapi perubahan dengan cara positif misalnya dengan mengajak mereka membuat jurnal/mengisi buku harian.

Tunjukkan pada anak bahwa kita sebagai orang tua menghadapi perubahan juga dengan cara positif dan saling mendukung. Dengan memperlihatkan pada mereka bahwa kita bisa beradaptasi dan berdamai dengan perubahan, akan menguatkan mereka dan membuat mereka sedikit banyak meniru sikap positif kita.

  disarikan dari:
   http://georgia4h.org/omk/edresources/KidsAndChange.pdf
   www.greatschools.org

Senin, 20 Januari 2014

Fun Math : Memahami Konsep Dasar Perkalian Sederhana (Bagian Kesatu)



Memulai aktivitas belajar dengan kurikulum rumahan kami, di awal tahun ini, putri kedua saya (7 th) mulai tertarik mempelajari konsep dasar perkalian. Setiap malam kami berdua menyempatkan diri bermain-main dengan angka selama kurang lebih satu jam selepas Isya. Macam-macam cara yang saya  gunakan untuk mengajaknya belajar konsep ini, dari sekedar bercerita, bermain bayangan angka, mengelompokkan benda-benda, hingga menyusun tabel perkalian sederhana, termasuk cara menggunakan tabel itu untuk menyelesaikan perkalian angka-angka besar.


Mula-mula, tugas saya sebagai teman belajarnya tentu saja memastikan ia tahu persis apa yang dimaksud dengan perkalian. Kami mulai membahas definisi tentu saja, dan saya perlu menggunakan bahasa sesederhana mungkin agar dipahami logika anak-anak.


Saya katakan pada putri saya, secara sederhana “perkalian” bisa berarti suatu cara melipatgandakan jumlah suatu objek/benda, dari yang semula berjumlah “sedikit” menjadi “banyak”. Sebagai contoh, saya menceritakan proses “fotokopi” dokumen.


Apabila kita ingin membuat selembar dokumen menjadi lebih banyak jumlahnya, kita bisa memfotokopi dokumen tersebut. Selembar dokumen kita letakkan di mesin fotokopi. Lalu kita menekan angka yang kita kehendaki, misalnya angka lima, maka hasilnya, mesin fotokopi akan mencetak lima lembar dokumen yang sama persis dengan dokumen asal.


Dari proses ini bisa kita buat suatu persamaan dalam bahasa matematika, yaitu : “5 x 1 = 5”, yang dapat dibaca sebagai “lima kali (angka) satu” (jika diadaptasikan dengan proses fotokopi di atas, kita bisa mengatakan : “lima kali memfotokopi selembar dokumen”). Lewat persamaan itu, kita bisa menghitung angka 1 sebanyak lima kali (1+1+1+1+1) sehingga jumlah keseluruhannya adalah lima.


Konsep ini tentu saja kami uji untuk menyelesaikan persamaan lain. Misalnya, untuk menghitung pasangan kaus kaki. Saya tanyakan pada putri saya, jika sepasang kasus kai terdiri dari dua buah kasus kaki, maka apabila terdapat lima pasang, berapa jumlah kaus kaki yang ada.


Dengan menggunakan pengetahuan dasarnya tentang perkalian tadi, putri saya menerjemahkan masalah ini kedalam bahasa matematika menjadi “5 x 2 = ...”. Selanjutnya ia pun menghitung dengan melakukan penjumlahan angka “2” sebanyak lima kali yaitu :” 2+2+2+2+2 = 10”.


Pengujian selanjutnya tentu saja bisa menggunakan cara lain, dengan tetap  memanfaatkan benda-benda di dalam rumah. Misalnya, kami menyusun empat kardus bekas sepatu. Dalam masing-masing kardus, saya tempatkan tiga buah bola. Saya minta putri saya menerjemahkannya ke dalam bahasa matematika. Maka dengan mudah, kini ia bisa menuliskan : “4x3=....”. Selanjutnya ia akan menghitung : “3+3+3+3 = 12”. Begitu seterusnya, makin banyak kami bermain-main dengan benda-benda di sekitar kami, makin mudah ia memahami konsep dasar perkalian ini. Nah, Bunda sekalian, bagaimana dengan cara belajar anak-anak di rumah? Semoga sama menyenangkannya dengan kami.


Level selanjutnya dari proses belajar perkalian saya sajikan dalam bagian kedua tulisan ini.