Jumat, 22 Februari 2013

10 Cara Terbaik Melatih Batita Kita Berbicara

 https://mail-attachment.googleusercontent.com/attachment/u/0/?ui=2&ik=7190521e07&view=att&th=13d00f216283b931&attid=0.1&disp=inline&safe=1&zw&saduie=AG9B_P9Jl57V2C1vvl_61FCFWcB_&sadet=1361520558879&sads=G_2uTNhZM8g83BmjQlRYvL8dFhs&sadssc=1
 my 17 months baby boy
Bungsu saya dirumah sudah 17 (tujuh belas) bulan usianya dan bisa dibilang belum bisa "berbicara", selain sedikit kata-kata sederhana seperti "mama", "kakak", "ayah", "nana" (nenek) dan dua atau tiga kata yang lumayan jelas terdengar bagi saya seperti "nunum" (minum) dan "mamam" (makan).

Sebagai ibu, sedikit rasa penasaran muncul juga dihati saya. Mengingat pengalaman dengan dua orang kakaknya dulu yang diusianya seingat saya sudah bisa berkata-kata dengan lancar. Bahkan si sulung sudah bisa menyanyikan lagu sederhana seperti "cicak-cicak di dinding" tanpa bantuan. 

Dari obrolan dengan sesama ibu saya mendapat masukan, bahwa untuk anak laki-laki (bungsu saya ini laki-laki), kemampuan berbicaranya memang cenderung lebih lambat berkembang dibandingkan dengan anak perempuan. Akan tetapi tentu saja saya mahfum, bahwa kondisi ini tidak berlaku sama untuk setiap anak. Buktinya anak tetangga saya yang juga laki-laki sudah "ceriwis" diusianya yang menginjak 15 (lima belas) bulan.

Saya pun mulai mencari referensi lain untuk menenangkan hati juga memperkaya wawasan seputar pengembangan kemampuan berbicara pada anak, tentu saja ditambah niatan, jikalau pada usia tertentu sesuai referensi yang saya dapat, ternyata si kecil belum juga menunjukkan perkembangan yang berarti saya harus juga segera berkonsultasi dan meminta bantuan ahlinya.

Dari pencarian saya ke beberapa blog yang menarik, saya memperoleh beberapa masukan lagi mengenai cara-cara menstimulasi batita agar dapat mengembangkan kemampuannya berbicara. Berikut adalah kutipannya :

1. Biasakan berbicara dua arah dengan anak
    Semenjak lahir sebenarnya bayi kita perlu mengetahui bahwa kita tak hanya memberitahu mereka apa yang sedang kita lakukan (misalnya : Ibu akan memandikanmu") , tapi juga ia perlu tahu bahwa kitapun memberikan perhatian terhadap setiap tanda yang diperlihatkan olehnya (meskipun bukan lewat bahasa verbal) seperti tangisan ataupun mimik wajahnya.

Biasakan bersabar menunggu reaksi anak terhadap kata-kata kita. Mungkin ia akan merespon kata-kata kita dengan menunjukkan mimik wajah tertentu atau membalas dengan tanda-tanda tertentu semisal ocehan atau sentuhan. Kebiasaan ini membuat anak memahami (meskipun ia belum bisa menyampaikannya pada kita) bahwa kita mendengarkan dan menanggapi setiap tanda yang ia berikan sebagai bentuk komunikasi.

2. Gunakan suara asli saat berbicara dan posisikan kita sebagai orang pertama
    Biasanya saat kita berbicara dengan bayi atau batita di rumah, kita suka membedakan baik intonasi maupun cara kita berbicara termasuk penggunaan kata-kata. Misalnya saja dengan men"cedalkan" sebuah kata, seperti kata "rambut" menjadi "lambut", dengan pikiran bahwa kebanyakan anak ekcil belum bisa menyebut huruf "r", hingga kita ikut-ikutan melakukannya. Tambahan lagi kita terbiasa menggunakan bentuk orang ketiga saat berbicara dengan anak. Misalnya : "bunda sayang Nana".

Nah, sebaiknya saat berbicara dengan bayi atau batita kita menghindari kebiasaan tersebut diatas. Biasakan berkata-kata dengan menyuarakan bentuk aslinya serta gunakan kata pertama saat berbicara dengannya, selayaknya saat kita berbicara dengan orang yang lebih besar. Misalnya : "Ibu sayang padamu" . Kebiasaan seperti ini membuat batita memahami bahwa ialah yang kita ajak berkomunikasi dan bukan "orang lain".

3. Bicaralah sesuatu yang nyata dan berarti
   Mengajari bayi atau batita kita arti kata-kata atau benda kurang efektif dibandingkan langsung mengajak mereka berbicara dengan menggunakan kata-kata tersebut.
Misalnya saja mengajari kata "bola" dengan menunjukkan bola atau gambar bola dihadapan anak kurang efektif dibandingkan mengatakan "ayo kita ambil bola merah itu" saat kita dan anak bermain bola bersama.

Mungkin anak akan menangkap lebih dari satu kata yaitu : "ayo", "kita", "ambil", "bola", "merah" dan "itu", namun dalam suasana bermain ia akan lebih rileks dan tertarik untuk memperhatikan apa yang kita katakan. Dengan melakukannya berulang-ulang, ia akan dapat memahami kata "bola" sebagai benda yang kita jadikan objek untuk ia kenali.

4. Membaca bersama dan bercerita pada anak dengan responsif
    Saat membaca bersama anak, biarkan ia menikmati setiap halaman buku yang diminatinya berlama-lama. Ia mungkin akan melewatkan halaman lain atau tidak menyelesaikan bacaannya, namun kita tetap dapat bereksplorasi dihalaman yang diminatinya, misalnya dengan menyebutkan semua gambar yang ada dan membantunya menunjuk gambar-gambar itu.

Demikian pula saat bercerita pada anak. Biarkan ia merespon setiap kata yang kita ucapkan, dan berilah perhatian penuh terhadap responnya. Ia akan mengerti bahwa kita menerima setiap tanda dan responnya sebagai bagian dari komunikasi dua arah.

5.  Perlahan-lahan
     Saat berbicara dengan batita kita, lakukan dengan perlahan-lahan dan jelas. Pastikan ia mendengar setiap kata yang kita ucapkan dan berilah waktu untuk memahami serta meresponnya.

6. Santai dan sabar
    Berbicara membutuhkan keberanian, terlebih pada anak kecil. Santai dan bersabarlah saat berkomunikasi dengan batita kita. Percayalah padanya bahwa saat kita berbicara padanya ia mendengarkan dan mencoba memahami. Bukan satu dua orang tua yang berbagi kisah bahwa mereka menghadapi "ledakan kata dalam semalam", saat batita mereka di rumah tiba-tiba berbicara lancar begitu saja, padahal sebelumnya amat sulit mengeluarkan satu dua patah kata.  

7. Jangan menguji kemampuan anak dalam berkata-kata
    Seringnya, kita sebagai orang tua penasaran dengan kemampuan berkata-kata batita kita di rumah. Saya misalnya suka juga sesekali iseng "menguji" bungsu kata dengan bertanya, "mana hidung adek ?" atau "mata adek mana?" dan pertanyaan lain yang sejenis.

Magda Gerber, seorang pakar dunia anak (bayi) pernah mengatakan bahwa ," jangan bertanya pada anak-anak kita pertanyaan yang sudah jelas jawabannya" (misalnya : "mana jarimu?", dsb). Saat kita menguji anak, saat itu pula kita menunjukkan pada anak ketidakpercayaan kita pada kemampuannya.

Saat kita terlihat begitu antusias manakala si kecil mengucapkan kata-kata baru, sesungguhnya kita telah menimbulkan tekanan baru padanya dan membuatnya merasa terbebani untuk mengembangkan kemampuannya.

8. Mengoceh itu bagian dari berbicara
    Saat bayi atau batita kita mengoceh dengan bahasanya sendiri, hal itu merupakan momen penting baginya. Ia sesungguhnya sedang berbicara dan mencoba menyampaikan maksudnya pada kita.

Alih-alih menanggapinya dengan bahasa ocehan juga, lebih baik bila kita serius menjawabnya seolah-olah kita memang mengerti apa yang ia maksud. Misalnya dengan menyahut, "Oh, apa adek sedang cerita tentang ikan di kolam kita ini?" atau "adek mau kasih tahu Ibu tentang kucing adek ya?", dan sebagainya.  

Selain kedelapan kiat di atas, saya juga diingatkan untuk berhati-hati terhadap kemungkinan respon saya mematahkan semangat si kecil dalam mengembangkan kemampuannya berbicara. Dua hal penting yang perlu diperhatikan itu adalah :

9. Mengoreksi cara anak mengungkapkan maksudnya
 Anak-anak kecil seringkali terlihat bingung saat menggambarkan sesuatu lewat kata-katanya. Misalnya, saat ia ingin menjelaskan tentang hewan apa yang baru saja dilihatnya melintasi halaman, ia mungkin akan mengatakan bahwa ia baru saja melihat kucing, padahal kita tahu bahwa yang dilihatnya adalah kelinci.

John Holt, dalam bukunya "Learning all the time" menjelaskan bahwa  "saat anak-anak pertama kali belajar berbicara , mereka akan sering menggunakan sebuah nama sebuah objek untuk digunakan menjelaskan keseluruhan klas dari objek tersebut." Dengan kata lain, saat batita kita merujuk setiap binatang dengan kata "kucing", hal ini tidak mengindikasikan bahwa    ia tidak tahu perbedaan antara satu hewan dengan hewan lainnya. 

Sebagai orang tua, sebaiknya kita tidak langsung mengoreksi kesalahan umum yang demikian. Dengan kesabaran dan contoh yang kita perlihatkan padanya ia lama-lama akan bisa menerima dan mengungkapkan perbedaan yang ia temui.

10. Menerima setiap pikiran dan perasaan anak
     Saat kita mendengarkan dan menghargai anak saat ia menyampaikan maksudnya dengan bahasa dan caranya, kita sudah membuka pintu komunikasi dengannya.

Anak akan memahami bahwa setiap pikirannya, perasaan dan ide-idenya, seacak apapun akan kita terima dengan terbuka. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Kita akan selalu menjadi orang yang dicari untuk mendengarkan kata-katanya, dan tentu saja hal ini baik bagi hubungan kita dan batita kita hingga tahun-tahun perkembangannya kedepan. 

referensi : www.janetlansbury.com 
   

Rabu, 20 Februari 2013

Pekan Ulangan

gambar diunduh dari : http://images02.olx.com.pk


Yang namanya "pekan ulangan" menjadi istilah baru bagi putri kedua saya (6th) yang kini duduk di kelas 1 (satu) Sekolah Dasar.

Suatu siang, ia mendatangi saya dan dengan wajahnya yang polos penuh tanya ia mengangsurkan selembar surat pemberitahuan dari sekolahnya yang isinya memberitahukan waktu penyelenggaraan pekan ulangan dan ujian tengah semester genap.

"Ulangan itu apa sih Bun, kata temenku susah deh," mata bulatnya yang bening memandang saya sungguh-sungguh.
Hmmm, semenjak ia saya kenalkan dengan sekolah, baru sekali ini ia akan menghadapi pekan ulangan atau ujian semester. Semenjak Taman Kanak-Kanak dan beberapa waktu sempat bersekolah di salah satu sekolah dasar di Australia saat menemani ayahnya bersekolah di negeri tetangga itu, belum sekalipun ia menghadapi momen penting semacam ini.
"Ulangan itu semacam latihan untuk mengingat kembali apa yang sudah adek pelajari di sekolah selama beberapa pekan belakangan ini," jawab saya.
"Jadi aku harus repeat apa, semua yang aku baca begitu? didepan bu guru ya?" tanyanya lagi.
"No, biasanya nanti adek diberi selembar kertas, isinya banyak pertanyaan yang menanyakan apa saja yang sudah adek tahu setelah belajar berbagai pelajaran disekolah, kind of excercise ,adek nanti harus menjawab pertanyaan itu dan mengum[ulkan lembar jawaban ke bu guru untuk diberi nilai" sahut saya lagi.
"Kenapa harus ditanya-tanya lagi ya, kan kalo aku sudah tahu disimpen disini (menunjuk kening) dan buat apa nilai itu, kalau nilaiku jelek bagaimana?" tanyanya lagi, polos.

Seumur-umur, putri saya ini memang tak mengenal sistem "nilai" baik disekolah maupun di rumah. Sewaktu Taman Kanak-Kanak dulu, gurunya biasa memberi stiker atau gambar orang tersenyum jika berhasil mengerjakan sebuah assignment atau kegiatan. Sementara di rumah, sepiring spaghetti atau jus jambu merah kesukaannya sering saya jadikan reward saat ia berhasil menyelesaikan aktivitas bersama kakak dan adiknya. Selebihnya, saya biasa menghargai hasil kerjanya dengan ciuman atau pernak pernik kecil yang biasa kami buat bersama untuk bersenang-senang, semisal gelang atau ikat rambut handmade.

Agak susah menjelaskan pada putri saya manfaat pemberian nilai atas hasil kerja. Baginya, bubar menyelesaikan aktivitas yang disukainya sudah mendatangkan kepuasan baginya dan bagi saya, atau gurunya, cukuplah bila kami turut senang jika ia senang..:).

Dengan sistem reward sederhana selama ini, putri saya ini mencintai setiap tahapan proses belajarnya sehari-hari. Ia tak pernah dipusingkan dengan target yang harus dipenuhi. Jikalau ia mengenal bahwa setiap usahanya harus diberi "nilai" dengan batasan tertentu, entahlah, saya mengira ia akan merasakan sedikit tekanan untuk memenuhi target itu. 

Saya sungguh ingin keasyikan belajarnya selama ini tak berubah, hingga, alih-alih saya menjelaskan arti sistem penilaian yang diadopsi sekolah, saya malah menjawabnya dengan sederhana saja,
"adek boleh minta stiker pada bunda usai ulangan lho, kalau ke bu guru nggak usah ya, bu guru kan sudah repot mengumpulkan lembar jawaban adek," kata saya.
"nggak perlu nilai ya Bun?" tanyanya sambil tersenyum senang.
"nggak dek, nilainya buat bu guru aja ya.." jawab saya iseng.
"oh, ic..ic..nilainya disimpen di bu guru aja ya Bun.., kalau sudah banyak baru deh buat aku," katanya lagi.
Hehe..dikiranya nilai itu bisa ditabung dan diakumulasi ya..ya sudahlah.

Saya berharap, tanpa saya turut membebaninya dengan "target" ala orang tua yang ingin turut mensukseskan pelaksanaan kurikulum nasional, saya tak membuatnya merubah pola pikir dan menjauhkan minatnya dari proses belajar yang menyenangkan seperti selama ini. Semoga..:).

Kamis, 14 Februari 2013

NEVER ENDING TEAM WORK


gambar diunduh dari :http://blogor.org/wp-content
Mau tahu apa yang paling menantang sepanjang "karir" saya sebagai seorang ibu? ;)
Ehemm, mungkin seperti kebanyakan ibu-ibu yang lain. Hal yang membuat saya merasa harus mengerahkan segala daya upaya dalam mewujudkannya adalah saat saya harus melatih anak-anak bekerja sama alias membangun budaya kerja tim a.k.a team work didalam keluarga kecil kami.

Tak ada budaya kerja sama yang bisa terwujud tanpa latihan yang terus menerus dan dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Saat anak-anak mulai memahami bahwa dirinya merupakan bagian dari sebuah "kelompok" bernama keluarga, mereka sudah mulai harus dikenalkan dengan pembagian tugas dalam rumah dan tugas saya sebagai ibu melatih mereka agar dapat berkontribusi dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut sesuai dengan kemampuan mereka.

Tak ada istilah terlalu dini untuk mengajarkan pada anak-anak untuk ringan tangan dan suka berbagi. Dimulai dari saat mereka mulai memahami makna kata-kata sederhana, saat itulah pula saya mengenalkan berbagai jenis "tugas" yang identik dengan posisi masing-masing anggota keluarga. Misalnya, saya kerap berbicara pada anak-anak semasa mereka batita, bagaimana sebagai ibu, sayalah yang bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaan rumah semisal menyiapkan makanan, merapikan kamar tidur, menemani mereka belajar, mencuci pakaian dan mengantar atau menjemput mereka dari sekolah. Tak lupa saya juga mengenalkan mereka dengan tugas-tugas ayah seperti bekerja di kantor untuk mencari nafkah, pergi ke bengkel untuk merawat kendaraan atau membersihkan gudang di hari libur, dan sebagainya.   Sementara itu, meskipun mungkin mereka belum benar-benar memahami bagaimana mereka bisa berkontribusi dalam kegiatan keluarga, saya tetap selalu mengatakan pada mereka bahwa saya dan ayahnya akan sangat bahagia bila mereka mau memulai "membantu" kami menyelesaikan tugas-tugas kami. Tentu saja sesuai dengan kemampuan mereka.

Berdasar pengalaman, anak-anak ternyata amat mudah menerima pelajaran dengan cara yang ajeg dan konsisten seperti cara saya di atas. Perlahan mereka memahami pembagian tugas dalam keluarga dan tanpa berat hati mau mulai ikut serta melakukannya. Dimulai dari area kecil yang menjadi "wilayah" mereka sendiri, yaitu kamar tidur dan area bermain. Anak-anak dengan senang hati mau membantu saya menjaga kamar dan kotak tempat menyimpan mainannya sehari-hari. Meskipun tak sempurna sesuai standar kerapihan saya, saya tetap berusaha menghargai hasil kerja mereka dengan tidak memprotes apapun yang mereka lakukan. Terbukti dengan penghargaan atas niat baik mereka, mereka semakin hari semakin dapat diandalkan menjaga kebiasaan baik yang sudah mereka mulai :).

---ooo---

Latihan kurang seru tanpa tantangan baru kan?
Begitulah setidaknya yang terjadi dalam keluarga kecil saya. Kekuatan kerja sama antara ayah, bunda dan anak-anak kerap teruji dengan beragam peristiwa seru. Suatu ketika, kami "dipaksa" bekerja lebih keras manakala saya terpaksa dirawat di rumah sakit sementara waktu karena melahirkan adik bayi. Saat itu kami tinggal di negara tetangga, dan sudah terbiasa tanpa asisten rumah tangga dan bantuan keluarga dekat. Alhasil, seluruh tugas dalam rumah menjadi tanggung jawab semua anggota keluarga.

Si sulung yang baru duduk di kelas tiga SD, mesti menggantikan tugas saya menjaga adiknya selama ayahnya mondar mandir ke rumah sakit menemani saya yang dirawat disana. Tugas menjaga adik yang empat tahun lebih muda darinya memang pernah dilakukannya sesekali saat saya tinggalkan ke pasar atau sejenisnya, tapi tentu tak selama seperti saat saya tak berada dirumah. Ia jadi terpaksa harus bisa menyediakan sang adik sarapan sederhana seperti roti panggang dan susu cokelat, mengajaknya bermain termasuk memastikan pintu rumah selalu terkunci saat ayah bundanya tak dirumah, siap sedia didekat pesawat telepon agar bisa menghubungi tetangga terdekat atau ayahnya jika terjadi sesuatu. Intinya, ia belajar lebih banyak memikul tanggung jawab lebih, sesuatu yang sebelumnya belum ia coba lakukan.

Meskipun kelihatannya tak mudah bagi si sulung, namun ia berhasil melakukan tugasnya dengan sangat baik. Alhamdulillah, bahkan sejak kejadian itu, ia menjadi kakak yang jauh lebih cekatan, terlebih karena ia tahu saya dan ayahnya sangat menghargai usahanya dalam menjaga amanah dari kami.

Kali lain, sepulangnya kami ke Indonesia,  saya, yang sebelumnya menjalani cuti panjang harus kembali ke kantor untuk bekerja penuh waktu. Sementara itu, kami belum lagi menemukan pengasuh yang tepat untuk menjaga anak-anak selama saya berada di luar rumah. Untuk beberapa lama anak-anak terpaksa harus dititipkan di rumah neneknya yang berjarak beberapa kilometer dari rumah kami. Jadilah setiap selepas shubuh mereka sudah harus bangun dan bersiap dengan seragam sekolah dan perlengkapannya untuk diantarkan ke rumah nenek. Sepulang sekolah anak-anak juga harus membiasakan dirinya dengan kebiasaan baru di rumah neneknya yang tentu berbeda dengan di rumah sendiri. Mereka harus menjaga ruang barunya, mencicil mengerjakan tugas-tugas sekolah tanpa bantuan saya, saling menjaga antara kakak dan adik dan sebagainya, semua harus mereka lakukan secara mandiri hingga saatnya saya dan ayahnya menjemput mereka selepas maghrib.

Mungkin bagi keluarga lain, pola keluarga kami amat berbeda atau bahkan terkesan terlalu memaksa anak-anak untuk belajar mandiri. Akan tetapi sejauh saya melihat kondisi dan perkembangan anak-anak, mereka terlihat menikmati proses belajar ini, selama saya dan ayahnya mendampingi dengan penuh kasih dan tanpa tekanan alias sama-sama melakukan tugas kami dengan ikhlas dan gembira. 

Kami percaya bahwa aura positif yang kami bawa dapat kami tularkan pada anak-anak hingga mereka bisa merasakan bahwa bersama-sama dengan ayah dan bundanya mereka adalah satu tim yang hebat dan dapat menghadapi berbagai tantangan yangs edang dan akan dihadapi keluarga kami di lain hari. Bukankah menjadi keluarga dalah takdir tak terelakkan dan menjadi tim yang kuat adalah keharusan?..;)..jadi kami memutuskan, bersama kami harus siap dan pasti bisa..ganbatte..^^.











































Jumat, 08 Februari 2013

Happy Mom..Happy Kids

Anak-anak dirumah sedang rewel?
Si sulung dan si anak tengah ribut berselisih paham, saling berebut perhatian. Adik bayi ikutan tantrum. Grrrhhh, Bunda jadi senewen dibuatnya.

Coba tarik nafas sejenak, dan ingat-ingatlah. Sudahkah kita menyapa ramah  anak-anak sejak bangun tidur  tadi, berbagi peluk atau cium? atau sekedar memasang wajah penuh senyum di depan mereka.

Jika belum, lakukan segera. Energi positif Bunda adalah sumber energi positif bagi anak-anak. jadi jika ingin melihat mereka damai bahagia, kitalah yang harus lebih dulu membagikannya pada mereka..:)

Have a happy day , moms..

Senin, 04 Februari 2013

Baby Talk : Can We Really Talk To Our Baby?

Kita mungkin bertanya-tanya seberapa yang dapat dimengerti oleh bayi kita  saat kita berbicara padanya?. Dari berbagai sumber yang pernah saya baca, saya memperoleh sedikit gambaran bagaimana seharusnya memulai sesi komunikasi dengan bayi saya.Yang jelas, saat kita berbicara, bayi  pada dasarnya mendengarkan dengan seksama. Oleh sebab itu, sangatlah membantu baginya jika kita menggunakan kata-kata atau frase sederhana saat bercakap-cakap dengannya. Kita juga harus berbicara dengan jelas (jangan di cedal-cedalkan). Sesekali kita juga bisa menarik perhatian bayi kita dengan melebarkan atau mulut, termasuk pula menggunakan intonasi dan volume suara yang berbeda-beda. 

Berikut beberapa tips yang berguna saat kita memulai komunikasi dengan bayi kita:

  • Tataplah bayi kita saat kita berbicara padanya;
  • Panggilah namanya;
  • Bicaralah dengan sederhana, misalnya dengan mengatakan "halo anak sholeh/sholehah". Gunakan kata "mama" dan "ayah" saat berbicara padanya;
  • Perhatikan ekspresi bayi kita da dengarkanlah suaranya, lalu tunjukkan suara dan ekspresi wajah yang sama padanya;
  • Tambahkan bahasa tubuh tertetu seperti "melambai" saat kita mengucapkan "daa..da..kucing", dan sebagainya;
  • Katakan padanya apa yang sedang kita lakukan, misalnya, "mama sedang menulis sekarang";
  • Tanyakan pada bayi kita tentang sesuatu, seperti :" apa kau ingin minum susu sekarang?" atau "apakah kita akan mandi?";
  • Membacalah bersama bayi kita. Bayi suka dengan rima dan puisi sederhana. Gunakan suara dan intonasi yang berbeda-beda saat membaca bersamanya;
  • Bernyanyilah untuk bayi kita. Menyanyi merupakan aktivitas yang penting dan menyenangkan bagi bayi untuk mempelajari kosa kata pertamanya;
  • Perhatikanlah tanda-tanda dari bayi kita saat kita berbicara dengannya. Apakah ia tersenyum dan menatap kita lekat-lekat, jika ya, maka ia ingin kita tetap berbicara padanya.

tips ini direproduksi dari : the U.S. Department of Education.

Sabtu, 02 Februari 2013

TIPS MENGARANG BUAT SI KECIL


Si kecil dirumah sudah lancar membaca dan menulis? Tentu bunda ingin mereka mekin berkembang kemampuan literasinya ya? Salah satu cara yang saya lakukan untuk mendorong anak-anak makin mengembangkan kemampuan mereka dalam memahami bacaan dan bisa menuliskan secara sistematis buah pikiran mereka adalah dengan membuat catatan harian atau mengarang bebas.

Berikut beberapa tips mengarang untuk anak-anak yang saya ambil dari salah satu edisi Bee Magazine terbitan tahun 2005..(sudah lama banget ya ^^..tapi masih bermanfaat kok hingga sekarang). Yuk disimak :

Ajak anak menuliskan tiap pikiran yang terlintas dalam benak mereka dalam bentuk kalimat sederhana untuk disusun sebagai kerangka karangan.

Pilihlah topik-topik yang telah disusun saat membuat kerangka karanganMintalah anak untuk melihat-lihat lagi kerangka karangan yang pernah mereka buat sebelumnya. Minta anak mengurutkan sesuai kronologi atau urutan waktu, untuk menentukan mana tema yang ingin ia ceritakan terlebih dahulu.

Catatlah kata-kata AJAIB ini : paparan – tegangan – klimaks – penyelesaian. Empat kata ajaib tadi sering disebut urutan alur cerita. Cerita yang sederhana biasanya dimulai dengan :

  • Paparan, yaitu kisah atau pejelasa tentang para tokoh atau kejadian.
  • Tegangan, yaitu ketika cerita kita sudah kita beri konflik atau pertetagan antar tokoh.
  • Klimaks, konflik atau pertentangan sangat meruncing.
  • Penyelesaian, yaitu ketika konflik atau pertentagan sudah mereda bahkan sudah terlihat penyelesaiannya.

Berlatih mengembangkan tiap tema kerangka karangan.

Berlatih membuat cerita dengan mengingat empat kata ajaib tadi.

Selamat menulis bersama anak-anak..^^..