Senin, 03 Desember 2012

Bukan Sekedar Obrolan Biasa

Sama sepert kebanyakan bunda yang lain, saya menjadi sosok yang dipandang lebih mudah diajak berkomunikasi oleh anak-anak saya dirumah. Mungkin karena dalam keseharian mereka, saya lah yang lebih sering mereka jumpai, mulai mereka bangun tidur hingga hampir terlelap di malam hari. Bahkan saat saya masih aktif sebagai ibu yang bekerja di luar rumah, mereka akan lebih suka menelepon saya saat saya masih berada di kantor sekedar untuk bertanya hal-hal kecil dibanding bertanya pada nenek-kakek yang kebetulan mampir ke rumah atau menelepon ayah yang juga sedang bekerja.

Obrolan bareng kedua putri saya, si sulung yang kini berusia 10 tahun dan adiknya yang berusia 6 tahun, selalu dipenuhi topik-topik menarik, mulai soal pelajaran yang menarik minat keduanya, cerita seputar pertemanan dan hobi, tentang hubungan dengan orang dewasa di sekitar mereka semisal dengan guru dan sanak keluarga hingga tontonan di televisi. 

Momen mengobrol bareng mereka tak cuma menjadi saat yang "menyegarkan" bagi saya tapi juga menjadi tantangan tersendiri manakala saya harus mengeksplorasi beragam sumber untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka yang tergelitik keingintahuannya ditambah pula memaksa saya untuk seringkali berpikir keras mengenai cara menyampaikan suatu penjelasan tertentu dengan cara dan bahasa yang dipahami oleh anak-anak dengan rentang usia yang berbeda.

Saat si sulung mulai bertanya-tanya seputar masalah perkembangan tubuh remaja putri, misalnya, sang adik yang ada didekatnya ikut-ikutan mengemukakan pertanyaan ini dan itu. Tentu saja saya harus pintar-pintar memilih kata agar keduanya bisa memahami apa yang ingin saya jelaskan pada mereka.
"Jadi kapan aku bisa dibilang remaja Bun, apa setelah aku menstruasi?" tanya si sulung suatu kali.
Belum sempat saya menyahut, sang adik menyela, 
"apa itu menstruasi?"
Jadilah saya mesti menyederhanakan jawaban bagi sang adik dan harus menemukan jawaban singkat bagi sang kakak.
Obrolah kami kadang tak hanya sebatas tanya jawab semacam ini, karena bisa berkembang kemana saja dan tak mesti saat saya sedang duduk santai, melainkan bisa disela-sela saya melakukan pekerjaan rumah tangga atau bahkan saat menyetir mobil.

Kalau dipikir-pikir, menjadi bunda itu memang dituntut menjadi kamus sekaligus ensiklopedi berjalan juga. Meski tentu saja tak ada bunda yang sempurna, namun saya pribadi merasa, tantangan terbesar menjadi bunda adalah saat anak-anak mulai memandang kita sebagai salah satu "narasumber" tempat mereka bertanya dan mencari jawaban atau solusi masalah. Itulah sebab, semenjak saya membuka mata di pagi buta, saya sudah menyisihkan sedikit waktu untuk mempelajari sesuatu. Bukan hanya demi memuaskan dahaga saya akan pengetahuan baru melainkan juga sebagai salah satu cara bersiap menghadapi para pemikir muda dan pencari fakta kreatif di rumah, yaitu kedua putri saya yang suka sekali bertanya..:).

Jika kita sama-sama mahfum bahwa anak-anak adalah pembelajar sejati, maka sangatlah wajar jika kita sebagai bunda harus terus berusaha meningkatkan kapasitas agar bisa menjadi fasilitator mereka dalam menjalani proses belajar sepanjang hidupnya hingga saatnya mereka menjadi pembelajar mandiri.

Menjadi fasilitator bukan berarti kita haruslah ahli disegala bidang, tapi kita harus selalu bersedia melihat hal-hal baru disekitar kita, mempelajari dan memahami semampu kita dan berusaha menemukan cara-cara membaginya dengan cara terbijak pada anak-anak.

Tak lucu rasanya jika anak-anak lebih dulu beroleh informasi yang salah atau kurang tepat tentang sex misalnya dari sumber lain tanpa kita bisa mengkonfirmasinya dengan informasi yang benar dan bertanggung jawab. Demikian pula dengan sederet hal lain yang mestinya tak luput dari kita. Bukankah tak ada waktu yang layak dibuang percuma, maka siapkanlah diri kita mengisi waktu bersama anak-anak meskipun sebatas untuk "mengobrol" saja, namun pastikan isinya selalu "tak biasa-biasa" saja..:).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar