Rabu, 03 Oktober 2012

Chat With My Pre Teen About Bullying : Sebuah Contoh Kasus (Pembuka)

Rasanya sudah lamaaaa betul saya tidak duduk berdua saja dengan sulung saya (sekarang 10 tahun usianya) tentang hal apa saja. Benar-benar berdua saja tanpa gangguan adik-adiknya yang kerap menginterupsi obrolan kami dan bukan sekedar tanya jawab biasa karena durasinya yang pendek-pendek dan sambil lalu.

Saat liburan musi semi seperti sekarang pun ia kerap beraktivitas di luar rumah bersama tean-temannya atau kalaupun di rumah ia tampaknya lebih suka beraktivitas dalam kamarnya untuk menggambar (dia sedang suka menggambar karakter kartun girly yang lucu-lucu) atau membaca buku kesukaannya lewat e-book reader ditabletnya, pokoknya aktivitas individual yang sudah tentu tidak melibatkan saya. 

Di minggu kedua liburan, di suatu hari yang cukup panas, hingga membuatnya enggan bermain keluar rumah dan bosan dengan perangkat elektronik, ia meminta saya mengantarkannya ke perpustakaan di suburb kami. 

"Aku mau ngadem," katanya sambil tersenyum iseng, maklumlah apartemen sederhana kami memang tanpa pendingin ruangan, jadi, kalau udara sudah terlau panas, saya dan anak-anak kerap mencari hawa dingin di tempat lain ..:D.
Di perpustakaan, kedua adiknya langsung menghambur menyerbu kotak-kotak besar berisi buku-buku, keduanya kemudian asyik dengan buku pilihannya masing-masing, termasuk si bungsu, baby Aliy, yang meskipun belum bisa membaca, tapi suka sekali melihat gambar-gambar berwarna.
Sementara sulung saya, tampaknya memang berniat mendinginkan diri, ia hanya duduk manis di bangku-bangku plastik warna-warni di tengah ruangan berpendingin udara (yang saat itu kosong dan hanya ditempati kami berempat) sambil melihat ke halaman luar pada melalui jendela kaca besar , memperhatikan sekelompok anak seusianya bermain frisbee. 
"Gak ikutan gabung kak, itu acara khusus liburan anak-anak lho, workshop gratisan dari perpustakaan," kata saya menyapanya.
Si sulung menggeleng, "lagi gak pengen Bun, lagian tuh ya, anak-anak itu sudah saling kenal sebelumnya, tadi aku lihat mereka datang sama-sama, kelihatannya dari satu sekolah deh, mungkin anak Cowandilla (Cowandilla Primary School-salah satu sekolah dasar publik di sekitar lokasi perpustakaan).
"Memangnya kenapa kalau mereka sudah saling kenal, kamu takut gitu bergabung dengan mereka?," tanya  saya.

Si sulung menggeleng, lalu menjawab, "nggak takut lah, aku kan kesini mau ngadem Bun, bukan panas-panasan main frisbee,..lagian kan programnya buat umum, kalaupun mereka gak mau gabung dengan aku, itu urusan mereka, aku bakal main dengan pelatihnya aja,".

Wah, menarik juga jalan pikirannya, menghadapi kemungkinannya "ditolak" oleh kelompok anak lain yang dalam hal ini memang belum dikenalnya. 

Saya jadi penasaran, apakah disekolahnya ia pernah mengalami penolakan dari kelompok tertentu diantara teman-temannya.
"Eh, kak, kalo di sekolahmu, ada gak anak-anak yang suka berkelompok begitu, lalu mereka gak suka bergabung dengan anak lain, atau gak mau ada anak lain bergabung dengan mereka?" tanya saya santai.
Sulung saya terdiam sesaat, lalu katanya antusias,"adaaaa...boys  tuh terutama, ada temanku yang kayaknya di benci banget sama kelompok boys dikelas, gak tau kenapa salahnya, kayaknya sih karena dia clumsy, diajak main apa aja gak bisa, terus, sukanya ngadu ke guru, jadinya, dia gak pernah diajak main sama siapapun."

Wehh, kasihan juga anak itu, selama ini si kakak tidak pernah bercerita tentang temannya yang satu ini.  Padahal default nya sulung saya itu lebih suka bergabung dengan para boys mengingat kesukaannya bermain fisik.
"Berarti, kamu juga gak main sama dia dong?," tanya saya menyelidik.
"Nggak, aku gak dibolehin sama teman lain kalau ajak dia main," sahutnya.
"Wah, kamu kok ikut-ikutan sih kak, kan kasihan dia jadi dikucilkan begitu, coba kamu yang gak pernah diajak main teman-temanmu, bagaimana rasanya coba?" .
Sulung saya mengangkat bahu, "gak enak lah pasti, tapi kalo aku sih ya udah, aku main sendiri aja," sahutnya.
Kelihatannya dia jadi berpikir tentang temannya yang dikucilkan oleh teman-teman lainnya itu. Sebab setelah itu dia jadi banyak bercerita, bahwa kejadian pengucilan terhadap sang teman berlangsung setiap hari.

Sejauh ini, menurutnya, sang teman ini kelihatan masih bisa bertahan dengan memilih bermain dengan anak-anak dari kelas yang lebih rendah atau memainkan permainan yang tidak mengharuskannya berkelompok, sementara di kelas, ia lebih memilih menghindari teman-teman yang suka mengganggu atau mengucilkannya. Lalu bagaimana dengan guru mereka? Apakah para guru juga memperhatikan kondisi anak yang mengalami bullying seperti ini?.
Sulung saya bercerita, bahwa, ya, guru-guru mereka di sekolah sangat peduli terhadap perilaku bully yang mungin terjadi, tapi saat para guru tak ada di dekat anak-anak, tetap saja kejadian tersebut terulang kembali. Ini berarti, sekalipun sekolah anak saya termasuk yang mengkampanyekan "free bullying area", tetap saja potensi terjadinya tindakan tersebut diantara sesama anak-anak masih ada.

Saat saya tanya apakah si sulung pernah mengalami hal serupa, yaitu penolakan dari sesama teman perempuannya di sekolah. 
"Nggak, so far i'm happy in my class, i've got a best friend,s and they seem like to play with me," sahutnya.

Hmm, kelihatannya sih demikian, sebab meskipun saya belum pernah mempertanyakan secara langsung dengan serius pada si sulung tentang iklim pertemanannya di sekolah, ia belum pernah mengeluarkan unek-unek atau keluhan juga tentang masalah itu.

Alhamdulillah. Utunglah jika demikian.  Namun demikian, obrolan kami siang itu membangkitkan perasaan yang khusus bagi orang tua seperti saya. Bagaimanapun, dikala anak-anak mulai berinteraksi dengan dunia di luar rumah, potensi ia mengalami benturan dalam hubungannya dengan orang lain juga semakin besar. 

Adapun bullying, yang kerap terjadi di lingkungan sekolah, sering kali tidak terdeteksi oleh orang tua maupun guru. Kalau saja, kita sebagai orang tua tidak memahami anak-anak kita dengan baik (dalam hal ini sifat, karakter, kebiasaan mereka) akan lebih sulit mengetahui perubahan yang terjadi pada mereka saat mereka merasa tertekan akibat perilaku bully yang dihadapinya.

Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk mencegah terjadinya hal tersebut pada anak-anak saya? Dan, yang terlebih penting mempersiapkan diri mereka dengan amunisi yang cukup untuk dapat bergaul dengan iklim yang sehat di usia mereka yang terus bertambah?

Beberapa catatan singkat saya yang berikutnya akan membahas hal tersebut. Saya merangkumnya dari berbagai sumber terkait penyebab dan penanganan masalah bullying diantara anak-anak, terutama anak-anak yang memasuki usia remaja separti sulung saya. 

..berikut catatan kecil saya tentang bagaimana memahami  pemicu terjadinya kasus bullying dalam dunia anak perempuan. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar