Tahun 2011
yang lalu, saya dan anak-anak diboyong suami pindah ke negeri tetangga,
Australia. Kami sementara waktu akan tinggal di Adelaide, ibu kota negara
bagian South Australia, tempat suami akan melanjutkan pendidikannya selama
kurang lebih dua tahun.
Banyak hal
yang mesti kami persiapkan sebelum kepindahan kami ke Adelaide, baik fisik
maupun mental. Hal terpenting yang menjadi perhatian kami adalah menyiapkan
mental anak-anak agar dapat segera beradaptasi di lingkungan barunya
nanti. Putri sulung kami, yang saat itu berusia 8,5 tahun dan adiknya yang
berusia 4,5 tahun terlihat agak cemas saat mengetahui bahwa di Adelaide mereka
akan bersekolah di sekolah publik yang siswanya sebagian besar adalah anak-anak
asli Australia. Saya sangat mahfum, mengingat mereka berdua, saat di Indonesia
telah terbiasa belajar di sekolah lokal yang siswanya adalah teman-teman sebaya
dari lingkungan sekitar kami tinggal saja, jadi bukan tipe sekolah modern atau
sekolah internasional dengan kurikulum lengkap serta bersiswakan anak-anak dari
beragam latar belakang budaya. Bagi anak-anak menghadapi perbedaan drastis
semacam ini sudah cukup membuat mereka cemas dan tidak percaya diri, sungguh
pekerjaan rumah yang luar biasa bagi saya dan suami untuk membuat mereka nyaman
di rumah barunya.
Berbagai
pengalaman baru pun kemudian mulai menjadi menu keseharian kami di Adelaide,
mulai dari melatih komunikasi sehari-hari dengan bahasa Inggris, mempelajari
tata cara pergaulan, menghafal jalur bus dan transportasi umum lainnya serta
mencari informasi mengenai tempat-tempat publik yang penting untuk menunjang
kehidupan kami sehari-hari, semisal lokasi pasar, rumah sakit, perpustakaan,
sekolah dan pusat-pusat komunitas lainnya.
Salah satu
pengalaman paling berkesan bagi kami adalah saat menjelang datangnya bulan
Ramadan. Sebagai kota di mana masyarakat muslimnya adalah minoritas, Adelaide
sepertinya tidak bersiap menghadapi Ramadan. Sebagai warga baru di Adelaide,
yang menjadi pengingat kami akan datangnya bulan suci hanya datang dari
lingkungan teman-teman Indonesia sesama muslim. Pengumuman mengenai kepastian
datangnya Ramadhan kami peroleh dari Imam Masjid City of Adelaide, yang menjadi
pusat kegiatan masyarakat muslim di Adelaide. Kami bahkan harus menunggu hingga
tengah malam sebelum akhirnya mendapatkan kepastian hasil rukyat, yaitu hasil
penglihatan para ahli atas munculnya bulan sabit yang menandakan datangnya
bulan baru.
Sebuah
pengalaman baru pula bagi saya saat menemani anak-anak menjalani puasa Ramadan
mereka yang pertama kali di Adelaide. Kebetulan Ramadan bertepatan dengan
datangnya musim dingin, sehingga waktu Subuh baru datang menjelang pukul enam
pagi dan waktu Maghrib sudah datang hanya lebih sedikit lewat pukul lima sore,
sehingga lamanya menjalani ibadah puasa kurang lebih dua belas jam saja, tak
jauh berbeda saat kami di Indonesia. Bagi si sulung yang sudah berhasil
menamatkan puasa Ramadannya sebulan penuh sejak berusia enam tahun, tantangan
berpuasa di tempat baru hanya semata masalah beradaptasi dengan suasana dan
cuaca saja. Tidak demikian dengan sang adik, yang kala itu baru akan menginjak
usia lima tahun.
Bagi putri
saya yang kedua, Ramadan di Adelaide ini menjadi pengalaman pertamanya
menjalani puasa, setelah tahun-tahun sebelumnya ia hanya ikut-ikutan saja
menjalani kegiatan selama Ramadan, namun ia belum berhasil sekalipun berpuasa
sehari penuh. Nah, jauh-jauh hari sebelum Ramadhan datang, saya sudah terus
mengingatkan dia bahwa tahun ini ia harus sudah berlatih berpuasa dari sahur
hingga Maghrib, persis yang dilakukan kakaknya. Ia pun kelihatan bersemangat
dan tak sabar menunggu saatnya menjalani kesempatan itu.
Tantangan
yang ia hadapi kali ini lumayan berat juga, sebab, bertepatan dengan datangnya
puasa hari pertama, adalah saatnya ia pertama kali masuk sekolah sebagai siswa
sekolah dasar. Kebetulan, satu hari sebelum hari pertama masuk sekolah, ia
tepat berulang tahun yang kelima. Menuruti kebijakan pemerintah South Australia
yang menetapkan bahwa anak yang telah berusia lima tahun dapat mulai bersekolah
di sekolah dasar, maka saya pun mendaftarkannya untuk mulai bersekolah di salah
satu sekolah dasar milik pemerintah di lingkungan yang dekat dengan rumah.
Saat hari
pertama masuk sekolah tiba, saya sedikit khawatir juga. Saya tak ingin ia gagal
menjalani puasa pertamanya hanya karena harus menjalani kegiatan sekolahnya.
Maklumlah, kegiatan belajar di sekolah dasar di Adelaide berlangsung hampir
sepanjang hari, mulai pukul setengah sembilan pagi hingga pukul tiga sore,
tambahan pula, amat jarang siswa di sekolahnya yang beragama Islam dan
sama-sama menjalani puasa, ditambah dengan cuaca musim dingin yang biasanya
malahan membuat anak-anak kelaparan terus sepanjang hari, maka lengkaplah sudah
tantangan bagi puteri saya di hari pertamanya.
little Ayomi dihari pertamanya bersekolah, 1 Agustus 2011, yang ertepatan dengan hari pertamanya berpuasa Ramadhan 1432 H
Hari itu
saya mengantarkannya ke sekolah dengan maksud memberikan semangat baginya di
hari pertama sekaligus hendak bertemu dengan wali kelasnya. Pada gurunya saya
memberi tahu bahwa hari itu puteri saya akan melewatkan waktu reses,
yaitu waktu istirahat di pagi hari untuk menikmati makanan kecil dan buah, dan
juga akan absen di saat makan siang, dan akan begitu seterusnya selama sebulan
penuh. Saat saya menyampaikan hal tersebut, sang wali kelas tampak terkejut dan
terlihat bertanya-tanya, “Wah, apakah puasa tidak menyiksa anak sekecil itu,
dia baru lima tahun,” katanya dengan nada khawatir. Saya pun menjelaskan, bahwa
sebagai muslim, kami harus mulai melatih anak-anak menjalankan ibadah wajibnya
sejak usia dini dan ia tak perlu khawatir, sebab anak-anak akan tetap dijaga
kebutuhan fisiknya seperti layaknya orang yang tak menjalani puasa. Saya pun lalu
menjelaskan konsep berpuasa, yang pada intinya bahwa selama beribadah puasa
anak-anak hanya harus menggeser saat makan dan minum mereka yang tadinya bisa
dilakukan kapan saja, menjadi hanya dilakukan pada saat makan sahur dan berbuka
puasa. Kepadanya saya mohonkan bantuan agar saat reses dan makan siang
tiba, puteri saya diijinkan melakukan kegiatan lain sehingga tidak tergoda
mencicipi makanan atau minuman seperti teman-teman lainnya.
Saat tiba di
rumah pada sore harinya, putri kecil saya sibuk bercerita berbagai keasyikan
yang ia temui di kelas barunya. Tampaknya hari pertama sekolah dilewati olehnya
dengan sukses. Akan halnya puasa hari pertamanya, hanya empat puluh menit
menjelang waktu maghrib, ia terpaksa membatalkannya. Mungkin karena kedinginan
dan capek belajar seharian, ia tak lagi kuasa menahan lapar. Jadilah ia
menangis dan memohon untuk mencicipi makanan yang sedang saya siapkan untuk
berbuka puasa. Namun demikian, saya bersyukur ia sudah mau mencoba menjalankan
puasa seharian penuh, dan baginya yang baru sekali mencoba, membatalkan puasa
di sore hari pun sudah merupakan prestasi tersendiri.
Untuk
menyemangati putri kecil saya agar tetap melanjutkan latihan puasanya, saya,
ayah dan kakaknya berusaha membuat agar puasa itu menjadi menyenangkan. Saya
kebagian tugas menyediakan makanan kesukaannya saat sahur dan berbuka, ayahnya,
membuatkannya star chart, tabel berkolom tiga puluh yang dapat diisinya
dengan stiker bintang, setiap kali ia mampu menamatkan puasanya hingga Maghrib.
Di akhir Ramadan, jumlah bintang yang terkumpul dapat ditukar dengan hadiah
dari ayah. Sementara itu, kakak kebagian peran sebagai partner ngabuburit, alias
teman bermain selama waktu menunggu saat berbuka puasa. Di sekolah, wali
kelasnya juga konsisten mendukung puteri saya untuk menjalankan ibadahnya.
Setiap kali waktu istirahat atau makan siang tiba, ia akan mengantar puteri
saya ke ruang seni agar ia bisa berkegiatan seperti membuat lukisan atau
meronce. Ia bahkan menggeser jadwal kelas memasak yang sedianya dilaksaksanakan
pada bulan itu menjadi dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri, semata-mata
untuk menghormati beberapa siswa di kelasnya yang sedang menjalankan ibadah
puasa Ramadan. Hal itu menjadi tambahan pelajaran tentang toleransi yang penuh
hikmah bagi putri saya.
Alhamdulillah,
hingga akhir Ramadan, si kecil berhasil menamatkan dua puluh enam hari puasanya
hingga maghrib, dan empat hari sisanya terpaksa dibatalkannya karena sakit atau
kehausan yang sangat akibat terlalu banyak bermain di luar rumah. Pengalaman
menemaninya berlatih puasa ini menjadi momen belajar bagi saya dan keluarga,
bahwa keberhasilan salah satu anggota keluarga bisa dicapai jika didukung penuh
oleh anggota keluarga lainnya. That’s what family are for.
Adelaide,
Juli 2012
(seperti yang ditayangkan di mommiesdaily.com)
(seperti yang ditayangkan di mommiesdaily.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar