Pagi di Adelaide, dua belas derajat saja.
Cukup dingin untuk ukuran suhu udara musim gugur. Sejak pagi si sulung
(9,5 tahun) sudah bersiap-siap hendak mengikuti acara perkemahan yang
diadakan sekolahnya. Sejak dua hari sebelumnya, sepulang sekolah ia
sudah mulai mencicil mengepak barang-barang yang akan dibawanya. Mulai
dari sleeping bag, lampu senter, baju hangat, topi, jilbab, kaus kaki, baju ganti, sneakers, sarung
tangan sampai dengan cemilan berupa biskuit dan keripik kentang yang
rencananya akan dimakan bersama teman-temannya sebelum waktu tidur yang
ditetapkan. Semuanya disusun dengan rapi dalam ransel besar pinjaman
dari ayahnya. Tak lupa ia menyelipkan kantung mukena kecil dan sajadah
yang berbahan tipis agar mudah dilipat untuk keperluan menjalankan
salat lima waktu. Saya hanya mengawasinya saja, bahkan saya tak perlu
lagi mengecek semua barang bawaannya, karena belum-belum ia telah
menyodorkan secarik kertas berisi check list barang-barang yang telah selesai dipak dalam ransel. Saya tinggal menandatanganinya saja, begitu pintanya.
Sampai dengan pagi hari berikutnya, di hari keberangkatan, bantuan
yang dimintanya hanya satu, mengantarkannya ke sekolah karena ia
kerepotan membawa banyak barang-barang. Wah, baru sekali ini, si sulung
tidak merepotkan :). Dalam hati saya merasa senang, mengingat untuk
usianya, saya tak menyangka ia bisa begitu detail dan dengan percaya
diri menyiapkan semua keperluannya. Begitulah dulu yang selalu saya
harapkan dari putri kecil saya, agar dia mampu menjadi pribadi yang
mandiri. Namun entah kenapa, saat ia memperlihatkannya, saya justru
merasa ada yang hilang dalam hati. Mungkin karena sebagai ibu,
sejatinya saya ingin selalu membantu anak-anak saya dan merasa lebih
nyaman jika mereka membutuhkan bantuan saya.
Saat tiba di sekolah, sebelum berangkat menuju area perkemahan, saya
menyempatkan diri bertemu dengan guru pembimbing dan pengawas selama
acara berlangsung. Guru dengan ramah mengatakan, bahwa sulung saya
sehari sebelumnya telah menghadap beliau untuk memohon izin untuk tetap
menjalankan salat lima waktu selama perkemahan berlangsung. Hmm, really? Kagum
juga saya akan keteguhan hatinya. Gurunya mengatakan, tidak masalah
dengan itu. Sekalipun mungkin ia satu-satunya anggota perkemahan yang
harus melaksanakan ibadah seperti itu, sekolah tak keberatan, justru
menghormati dan akan memfasilitasi keperluannya. Wah, saya tadinya
hendak memintakan izin, namun ternyata sudah dikerjakannya. Lagi-lagi
saya dibuatnya terheran-heran akan kemandirian si sulung.
Sebelum saya beranjak pergi dari halaman sekolah, ia berlari-lari
kecil menghampiri saya. Dengan hangat ia memeluk saya, sambil mencium
pipi ia berbisik, “Don’t worry mom, I just go for one night. I’ll be
back tomorrow afternoon, and I’ll promise to pray for you in my salat
time. See you,” bisiknya. Ah, kali ini saya sungguh tak bisa
berkata-kata. Haru rasanya. Saya balas ciumannya dan melepasnya kembali
bersama teman-temannya. Tentu saja, Nak. Bunda juga akan selalu berdoa
untukmu. Sampai berjumpa lagi besok, bisik saya dalam hati.
Satu hal yang saya dapatkan pagi itu, bahwa menjadi ibu kiranya tak
cukup dengan segala upaya memberi, mendidik, dan selalu siap berada di
samping anak-anak kita. Pada saatnya, ibu juga harus bisa menerima
bahwa anak-anak mampu bersikap mandiri dan tak lagi bergantung pada
kita. Pelajaran kecil dari sulung saya yang mulai belajar mandiri, saya
tak akan menghalangi jika ia memang telah mampu melakukan sesuatu tanpa
bantuan saya lagi. Saya akan memberinya kepercayaan, kepercayaan yang
saya yakin akan makin menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk berbuat
yang lebih baik bagi dirinya di kemudian hari dan tidak membuatnya jauh
dari saya, semoga :).
Adelaide, 3rd May, 2012
*seperti ditayangkan di http://mommiesdaily.com/2012/05/21/saat-si-kecil-mulai-mandiri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar