Minggu, 10 Juni 2012

Belajar Menjadi Pemenang

 Masterchef Australia 2012 - top 24 contestants - gambar diunduh dari : http://media1.onsugar.com/
Sejak kecil anak-anak sebenarnya sudah mengenal arti kompetisi. Dalam benak mereka kompetisi sering hanya berwarna hitam dan putih. Perhatikan sekali-kali kala mereka bermain bersama saudara atau teman-teman sebayanya. Adaaa saja yang mereka "pertandingkan" satu sama lain. Mulai dari hal-ha sederhana seperti siapa paling cepat menyelesaikan gambar atau siapa yang memenangkan balap skuter, balap lari atau kalau untuk anak yang lebih besar, bisa benar-benar bertanding dalam kegiatan olah raga fisik semisal adu memasukkan bola basket dalam keranjang sambil tak lupa menghitung poin nya. Kompetisi mereka bisa dilakukan antar individu atau antar kelompok. Misalnya saja, saat anak-anak bermain dengan banyak teman, mereka biasa membagi kelompok besarnya menjadi kelompok-kelompok kecil untuk kemudian menentukan satu kompetisi diantara mereka, bermain gobak sodor atau futsal mini (sudah futsal, mini pula..:p), atau permainan lainnya yang membutuhkan tim. Intinya, anak-anak sangat kompetitif dan dinamis. 

Kedua putri saya (9,7 yo dan 6 yo) yang sekarang  ini masih suka bermain lepas bersama teman-temannya tampaknya belajar banyak hal positif dari kompetisi ala anak-anak ini. Sering di malam hari,  sebelum tidur, mereka berdua tampak asik berdiskusi di kamar tidurnya. Saat saya tanyakan apa yang sedang mereka bahas, si sulung menjelaskan bahwa mereka berdua sedang menyusun strategi agar besok bisa memenangkan lomba treasure hunt, permainan yang ia dan teman-temannya rencanakan sendiri, mulai lokasi, pernak-pernik "harta karun" yang harus di buru dan aturan permainannya. Wah, serius sekali, pikir saya. Si sulung belajar banyak sebagai ketua tim dari anak-anak seusianya. Ia belajar membentuk tim, mengatur peran masing-masing anggota tim, belajar menjaga kekompakan tim nya dan tentu saja belajar mempersiapkan mental dalam menghadapi kemungkinan menang atau kalah.

Kalau urusan merencanakan permainan dan mengatur strategi saya tak terlalu khawatir. Senang malahan melihat anak-anak sedari kecil sudah belajar mempraktikan teamwork dan saling menghargai pendapat diantara sesama teman saat berembug. Hal yang sering membawa sedikit masalah justru saat menerima hasil dari kompetisi mereka. Tak jarang anak-anak pulang ke rumah dengan wajah kecewa atau sesekali marah karena kalah berkompetisi atau saat mereka berhasil keluar sebagai pemenang, ternyata tim lain yang menjadi lawan tidak menerimanya dengan lapang dada dan malah melakukan hal yang kurang menyenangkan, seperti menuduh tim pemenang berbuat curang atau menginginkan permainan diulangi, dan ini membuat anak-anak saya kesal, bahkan hingga mereka pulang ke rumah. Hehe, kadang saya geli sendiri, melihat anak-anak yang tampak serius mempermasalahkan hal main-main seperti ini, namanya juga anak-anak. Namun kalau mengingat, bahwa bermain pun merupakan sarana belajar hal-hal yang riil dalam kehidupan, saya memilih untuk tidak menunjukkan kegelian saya, justru berusaha "meluruskan" apa yang kurang mereka pahami dalam arti berkompetisi yang sehat. 

Suatu ketika, saya dan anak-anak menyaksikan acara Masterchef Australia 2012, acara kompetisi memasak favorit kami di televisi. Kali ini, seluruh peserta dibagi menjadi dua tim, tim merah dan biru, yang saling berlomba menyelesaikan sebuah tantangan. Saya memilih mendukung tim merah sementara si sulung dan adiknya memilih tim biru yang hari itu di ketuai seorang chef muslimah berjilbab yang menjadi peserta favorit mereka berdua. Di akhir lomba, ternyata tim biru lah yang keluar sebagai pemenang dengan perbedaan nilai yang sangat telak dibanding niai yang diperoleh tim lawan. Tentu saja anak-anak bersuka cita dan dengan kompak meledek saya..;p. Namun, seketika mereka tertegun di depan layar televisi. Sebabnya, saat pengumuman tim pemenang, seluruh tim biru tampak bersuka cita, dan apa yang dilakukan oleh sang ketua tim? Ia tidak lebih dulu ikut merayakan kemenangan bersama timnya, namun refleks menyalami ketua tim merah yang kalah, dan dengan wajah penuh penghargaan ia berucap, "you're all doing a great job..", seperti layaknya tim merah lah yang menjadi pemenangnya. Kemudian ia meminta seluruh anggota tim biru untuk menyalami seluruh anggota tim merah, barulah setelah itu ia menerima hadiah kemenangan timnya dari para juri.

Kebetulan yang menarik sekali, momen menonton acara televisi tadi menjadi cara yang tepat menunjukkan pada anak-anak saya cara menerima kemenangan dan bagaimana mereka seharusnya menerima hasil kompetisi dengan wajar dan bersahaja. Setelah acara berakhir, kami masih terlibat diskusi tentang bagaimana seharusnya menghadapi kompetisi dan menerima hasilnya. Anak-anak setuju bahwa dengan berkompetisi bukan berarti mereka menganggap teman-teman yang menjadi lawannya sebagai "musuh" dalam arti sebenarnya, dan bahwa mereka juga sama berusahanya dalam menyelesaikan tantangan dalam kompetisi itu dan layak untuk diberikan penghargaan atas segenap usahanya. Terlebih penting lagi, bahwa sikap sportif dalam menerima hasil kompetisi lebih layak dikedepankan. Kemenangan itu tidak ada artinya, jika orang lain merasa berduka karena dikecilkan dan tidak dihargai. Bukankah tak ada seorang "Pemenang" tanpa ada pihak yang kalah?

Dengan tetap menghargai lawan, memberinya semangat dan pantang meremehkannya serta menerima kemenangan dengan sewajarnya, bukan dengan berbangga diri, berarti kita telah mengalahkan ego kita sendiri dan itulah sejatinya seorang pemenang. Semoga anak-anak kelak bisa menjadi pribadi yang bijak seperti ini, aamiin.

2 komentar:

  1. hi.....another bloggosphere there...

    pls visit my blog : www.edialisme.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum,w,w.

    Senang baca pengalamannya, sangat berguna. Bolehkan saya minta alamat emailnya ?
    Makasih

    BalasHapus