Rabu, 28 Maret 2012

Mereka "Cuma" Butuh Kita

 Dalam laporan yang di keluarkan oleh Australian Institute of Family Studies (www. aifs.gov.au) dinyatakan bahwa empat puluh persen dari ibu bekerja yang memiliki anak-anak serta enam puluh enam persen ayah yang bekerja setuju bahwa karena pekerjaan mereka, mereka telah kehilangan waktu di rumah dan kegiatan bersama keluarga dimana mereka seharusnya terlibat.

Dr. Richard Fletcher dari Father and Families Research Program di University of Newcastle menjelaskan bahwa waktu kebersamaan setiap harinya itulah yang berharga. Menurutnya,  orang tua yang menghadapi jadual pekerjaan yang sangat ketat sebagai kegiatan rutinnya seringkali menyibukkan anak-anak mereka dengan berbegai kegiatan, namun mereka kadang kurang menyadari bahwa orang tua lah yang sebenarnya diharapkan oleh anak untuk berinteraksi dengan mereka. Bermain dengan anak-anak bukan hanya semata membuat anak beraktivitas namun juga perlu keterlibatan orang tua untuk bermain bersama, berbicara dan mengadakan kontak fisik dengan anak-anaknya. Karena dengan begitu hubungan antara anak dan orang tua akan terjalin dengan kuat. (artikel dalam coles.com.au/babyclub)

Membaca artikel diatas, mengingatkan diri saya sendiri bahwa, sebagai orang tua tentulah saya masih banyak punya kekurangan.  Dua belas tahun menjadi ibu yang juga bekerja di luar rumah, bukan sekali dua saya mengabaikan anak-anak. Misalnya, ketika sedang dikejar tenggat waktu penyelesaian tugas kantor yang menggunung, tak jarang saya tak memperhatikan apa yang anak-anak saya sedang atau coba katakan pada saya karena di waktu yang bersamaan saya harus menerima telepon "penting" dari rekan satu tim atau atasan saya di kantor. Setiap kali saya pulang terlambat yang biasanya melebihi waktu makan malam, dalam keadaan lelah dan mengantuk, saya lebih suka segera membersihkan diri dan beristirahat mengingat keesokan harinya harus berangkat pagi-pagi sekali. Padahal di saat itu, anak-anak masih terjaga dan mereka sejatinya telah menunggu-nunggu waktu hanya untuk bersama saya barang sesaat. Jadilah momen bermain atau berinteraksi dengan mereka hanya sekedarnya saja. Kalau saya pikir sekarang, anak-anak pastilah bisa merasakan saat orang tuanya tak sepenuhnya menaruh perhatian pada mereka. Mereka tahu jika kita tidak fokus atau terburu-buru. Akhir pekan tak jarang saya masih harus membagi perhatian antara urusan rumah yang ta tersentuh seminggu penuh termasuk urusan silaturahmi dengan lingkungan atau keluarga. Lagi-lagi, anak-anak tak mendapatkan penuh keberadaan diri saya untuk mereka. Seringkali anak-anak terpaksa saya titipkan di rumah kakek nenek nya atau bersama pengasuhnya di rumah. Berinteraksi dengan mereka lebih merupakan jadual yang saya harus penuhi bukan menjadi hal yang saya utamakan. Saya memang menelepon mereka empat atau lima kali sehari, atau sesekali saya juga muncul di sekolah mereka, namun tetap saja, kontak langsung dengan saya lebih mereka butuhkan. Astaghfirullah, sungguh bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Mengingat waktu-waktu seperti itu, sungguh membuat saya merasa bersalah dan malu.

Bukannya tidak sadar dengan kondisi saya sebagai ibu yang tidak ideal, hanya saja memang perlu waktu dan ekstra effort  untuk membayar kekurangperhatian saya yang telah lalu. Ketika saya beroleh kesempatan untuk cuti panjang meski sementara dari pekerjaan, saya pikir saya bisa sepenuhnya terlibat dengan anak-anak dalam keseharian. Ternyata, di awal-awal saya menjadi ibu rumah tangga "penuh", saya kesulitan membagi waktu juga. 

Dengan adanya tambahan anggota keluarga, bayi ketiga saya, ditambah tidak adanya asisten di rumah, cukup membuat saya kalang kabut mengatur waktu antara menyelesaikan tugas rumah, mengurus bayi kecil yang butuh perhatian penuh serta berbagi perhatian dan kegiatan dengan kedua anak saya yang saat ini memasuki usia sekolah dasar . Rasanya waktu dua puluh empat jam tak pernah cukup. Lebih sering untuk kedua kakak saya "terpaksa" menyibukkan mereka dengan memberi mereka daftar kegiatan sebanyak-banyaknya untuk dilakukan setiap hari, maksudnya agar mereka tak selalu berada di sekeliling saya karena seringnya mereka yang sedang excited  mendapati bundanya berada di rumah sepanjang waktu lebih suka menguntit saya dan sibuk meminta perhatian ala mereka masing-masing. Lagi-lagi saya terpaksa menghindari kontak dengan anak-anak.

Beginilah nyatanya kehidupan para bunda. Kalau dipikir berat dan repotnya, rasanya saya sendiri bisa jatuh frustasi. Alih-alih membiarkan diri saya stress karena tak bisa mengelola diri sendiri, saya berusaha keras mencari cara paling efektif dan efisien berinteraksi dengan anak-anak semaksimal mungkin tanpa membiarkan pekerjaan saya yang lain terbengkalai.

Berbagai ide beraktivitas bersama saya kumpulkan dan bersama-sama dengan ayahnya anak-anak kami sepakat saling berbagi tugas rutin, semisal, saya memasak dan membersihkan rumah dibantu Ayomi sedangkan ayah betanggung jawab berbelanja ke pasar atau supermarket dan melaundry pakaian dibantu kakak Vianka. Ayah mengantar sekolah anak-anak di pagi hari, saya dan baby Aliy kebagian tugas menjemput di siang hari. Urusan menjaga adik, dibagi rata antara kami berempat, menemani anak-anak membaca bergantian saya lakukan bersama dengan ayah, sedangkan saya bertanggung jawab mengajar anak-anak mengaji selepas maghrib, sementara ayah yang mengisi tausiyah (siraman rohani) selepas sholat, dan sebagainya.

Dalam setiap kegiatan yang kami lakukan bersama tentu saja tak lupa kami sisipkan acara "mengobrol" dengan anak-anak, sekedar memanfaatkan waktu kebersamaan yang tidak bisa selalu disediakan khusus. Jadilah ada acara kakak curhat pada ayah dan Ayomi pada bunda atau sebaliknya. Di waktu luang, kai, orang tua berkomitmen menjadikannya "our time". Kami bebaskan perasaan dan melepaskan sejenak tugas-tugas rutin hanya untuk bermain-main dengan anak-anak sepenuh hati. Kami tertawa, bermain dengan alat permainan anak-anak, bermain musik bersama, menonton film di televisi atau via dvd player, bermain kartu atau petak umpet atau apa saja, asalkan kami bisa benar-benar terlibat didalamnya tanpa merasa bahwa kami adalah "orang tua" sedangkan mereka adalah "anak-anak". Hasilnya sejauh ini, "Our Time" benar-benar kami tunggu untuk melepaskan penat dan beban rutinitas, semacam relaksasi dari keseharian dan momen mendekatkan diri antar sesama anggota keluarga. Tambahan pula, saya dan ayah bersepakat bahwa anak-anak adalah agenda kami yang nomer satu, sehingga urusan kecil semisal perebutan waktu bagi diri sendiri (me time) tak lagi terlalu mengganggu kami.

Tentu saja, sampai dengan hari ini pun saya masih terus belajar bagaimana mengesisienkan pemanfaatan waktu dan keberadaan saya diantara anak-anak. Namun, saya bersyukur menyadari bahwa saya pernah melakukan kesalahan dalam hal interaksi dengan anak-anak. Semoga, saya diberi kesempatan belajar lebih banyak dan mampu mempraktikan setiap tambahan pengetahuan untuk kebaikan keluarga kami.




2 komentar:

  1. mbak vivi, menyentuh sekali tulisannya
    Saya juga pernah nyoba bekerja tapi cuma bertahan untuk satu tahun. terjadi perubahan besar pada anak2 ketika saya memutuskan bekerja lagi, anak2 saya tidak seriang dulu. kami menjadi asing satu sama lain.
    syukurlah sekarang saya ada di rumah mendampingi mereka untuk belajar menghadapi hidup ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih bunda Maya, Alhamdulillah ya Bunda berkesempatan mendampingi anak-anak di rumah. Memang anak-anak lebih berhak atas perhatian penuh bundanya, apabila memang tidak ada urgensinya bekerja di luar rumah. Namun bagi bunda yang memang terpaksa bekerja di luar, memang perlu "kerja keras" menjalin kedekatan dengan anak-anak, selama ada niat dan kesadaran insha Alloh semua bunda "bisa" melakukannya..^^

      Hapus